Korban kejahatan Sektor Keuangan Diusulkan Bisa Dapat Ganti Rugi, Ini Kata Pengamat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyelesaian kejahatan di sektor keuangan terkadang memang bisa dibilang tak berpihak pada korban. Sebab, ganti kerugian yang utamanya diharapkan korban justru sulit kembali.

Berkaca pada hal tersebut, pemerintah mengusulkan ada ketentuan pidana soal kejahatan di sektor keuangan dalam Rancangan Undang-Undang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (RUU PPSK).

Dimana, dalam aturan tersebut korban kejahatan kemungkinan besar akan mendapatkan ganti rugi, dengan syarat pelaku telah mengakui dan mengembalikan semua kerugian korban. Dengan begitu maka pelaku berpotensi tidak akan dikenakan pidana.


Memang, kerugian yang dialami oleh korban kejahatan di sektor keuangan seringkali memiliki nilai yang fantastis. Sebut saja, ada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya yang tercatat merugikan 23 ribu nasabah dengan nilai Rp 106 triliun.

Baca Juga: Perkuat Modal Inti, Bank Capital (BACA) Bakal Gelar Private Placement

Melihat usulan tersebut, Pakar hukum perbankan sekaligus mantan Kepala Pusat pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein bilang bahwa usulan tersebut memang terlihat berpihak pada korban.

Menurutnya, selama ini yang perlu dilakukan memang sudah seharusnya dilakukan sanksi administratif terlebih dahulu dalam bentuk pembayaran ganti rugi. Baru, sanksi pidana menjadi senjata pamungkas.

“Jadi tidak sedikit-sedikit sanksi pidana,” ujar Yunus.

Meskipun demikian, Yunus melihat usulan tersebut perlu diberikan detail-detail mengenai pengaturannya. Misalnya, kejahatan keuangan seperti apa saja yang bisa dilakukan pemberian ganti rugi.

Dalam hal ini, Yunus juga berpendapat lembaga yang tepat untuk melakukan proses restorative justice ini ialah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mengingat, ada kewenangan penyidikan yang dimiliki ditambah kemampuan terkait pengawasan sektor keuangan.

Tak hanya itu, ia menegaskan transparansi proses restorative justice pun perlu diatur detailnya. Tujuannya, proses yang terjadi bisa terus dipantau perkembangannya oleh para korban.

“Ini soalnya rawan penyalahgunaan. Misalnya, aparat kan sebagai mediator juga bisa tergiur juga untuk mendapatkan bagian karena merasa menjadi yang mendamaikan,” imbuhnya.

Baca Juga: RUPSLB Bank of India (BSWD) Restui Rights Issue, Target Dana Rp 1,39 Triliun

Sependapat, pengamat ekonomi Yanuar Rizky bilang yang harus diperbaiki adalah transparansi proses penanganan pidana. Ini merupakan bagian dari reformasi proses litigasi pidana.

Ia mencontohkan otoritas di Amerika Serikat memiliki kewajiban untuk memberikan perkembangan yang jelas dalam proses penanganan pidana. Menurutnya, kewajiban seperti itu perlu diterapkan di Indonesia.

“Kalau cuman ganti rugi mah sekarang juga bisa, kalau mau ya reform dong prosesnya,” imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi