KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gaza, sebuah wilayah yang telah lama menjadi pusat konflik antara Israel dan Palestina, kini menghadapi salah satu krisis kemanusiaan terburuk. Serangan udara, blokade, dan kekurangan sumber daya telah mengakibatkan ribuan kematian, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil.
Jumlah Korban yang Meningkat Drastis
Perang yang berkepanjangan di Gaza telah menyebabkan lebih dari 40.000 kematian, menurut otoritas kesehatan setempat. Angka ini mencakup sekitar 2% dari populasi pra-perang Gaza, atau satu dari setiap 50 penduduk.
Namun, angka ini belum sepenuhnya menggambarkan besarnya kehilangan yang dialami oleh warga Palestina. Sejumlah besar korban masih terkubur di bawah reruntuhan, dan upaya untuk menambah mereka ke dalam daftar korban perang masih terus berlangsung. Dr. Marwan al-Hams, direktur rumah sakit lapangan di Kementerian Kesehatan Palestina, menjelaskan bahwa sekitar 10.000 korban serangan udara kemungkinan masih terjebak di bangunan yang runtuh. Keterbatasan peralatan berat dan bahan bakar menghambat upaya pencarian dan penyelamatan para korban ini.
Baca Juga: Netanyahu Ajukan Syarat Baru untuk Gencatan Senjata Gaza Kisah Tragis Dalia Hawas dan Keluarganya
Salah satu kisah yang mencerminkan penderitaan warga Gaza adalah cerita Dalia Hawas, seorang ibu muda berusia 24 tahun yang tewas dalam serangan udara Israel pada Februari lalu. Dalia dan putrinya yang berusia 10 bulan, Mona, terkubur di bawah puing-puing gedung apartemen mereka. Hingga kini, tubuh mereka belum dapat ditemukan dan dimakamkan secara layak. Fatima Hawas, ibu Dalia, mengungkapkan kesedihannya saat mengenang putrinya. Dalia adalah lulusan Sastra Arab yang bercita-cita menjadi guru. Meski hanya melalui mimpi, Fatima kadang masih merasa kehadiran putrinya, namun duka dan kesedihan selalu menyelimuti dirinya setiap kali terbangun. Selain mereka yang tewas akibat bom dan peluru, ribuan warga Gaza juga meninggal akibat dampak tidak langsung dari perang. Perpindahan massal ke tempat-tempat penampungan yang penuh sesak, kelaparan akibat berkurangnya bantuan, serta kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi telah menyebabkan penyebaran penyakit. Rumah sakit yang dibom dan diblokade, persediaan obat-obatan dan alat medis yang terbatas, serta kematian tenaga medis telah memperburuk situasi ini. Dr. Hams menambahkan bahwa mereka yang meninggal akibat dampak tidak langsung perang, seperti penyakit dan kelaparan, belum dimasukkan ke dalam daftar korban perang. Sebuah komite akan dibentuk untuk menghitung korban ini, yang akan mulai bekerja segera setelah perang berakhir.
Baca Juga: Janji Erdogan kepada Abbas: Turki Akan Terus Menekan Israel Nasib Keluarga Abu Samra
Keluarga Abu Samra adalah salah satu dari banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarga mereka akibat kondisi yang memburuk di Gaza. Hania Abu Samra, nenek berusia 75 tahun, meninggal di depan cucunya setelah berjalan dari Gaza utara ke selatan dalam sehari. Keluarga tersebut terpaksa meninggalkan rumah mereka setelah mendapat peringatan evakuasi dari militer Israel.
Adnan Abu Samra, ayah dari Rania Abu Samra, juga meninggal akibat infeksi dada setelah berulang kali ditolak dari rumah sakit yang penuh sesak. Adnan, yang sebelumnya mampu mengelola diabetes dan tekanan darah tinggi dengan baik, harus menjalani musim dingin tanpa pemanas di tenda darurat yang hanya terbuat dari plastik dan api dari kayu serta plastik bekas. Pada saat dia akhirnya diperiksa oleh dokter, semuanya sudah terlambat.
Meningkatnya Trauma dan Ketakutan
Konflik yang berkepanjangan tidak hanya membawa korban jiwa, tetapi juga meninggalkan luka mendalam bagi mereka yang selamat. Banyak dari mereka harus hidup dalam bayang-bayang kematian dan ancaman serangan berikutnya. Ali Abbas, yang kehilangan dua anaknya dalam serangan udara, kini hidup dalam ketakutan bersama keluarganya yang tersisa di tenda darurat. Anaknya yang masih kecil kini mengalami trauma berat dan fobia terhadap bangunan dan kegelapan.
Editor: Handoyo .