KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perwakilan aliansi korban Wanaartha Life menceritakan awal mula aset disita hingga akhirnya mengajukan laporan ke Bareskrim Polri. Hal itu disampaikan saat sidang perkara Nomor 59/PUU-XXI/2023 terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (11/9). Adapun perkara tersebut membahas kewenangan penyidikan tunggal OJK. Mengenai hal itu, Ketua Aliansi Korban Wanaartha Life Johanes Buntoro menyampaikan para nasabah membeli polis pada Maret 2018. Dia mengungkapkan saat itu para korban percaya sekali dengan OJK karena Wanaartha Life telah diberikan izin dan terdaftar sehingga sudah melewati seleksi terbaik dan pengawasan yang sangat ketat hingga diaudit secara berkala. "Dengan demikian, kami mau membeli polis Wanaartha Life pada saat itu," ucapnya saat memberikan kesaksian dalam persidangan di MK, Senin (11/9).
Johanes menuturkan permasalahan dimulai sejak Januari hingga April 2019. Saat itu, nasabah mendapat informasi dari pihak manajemen Wanaartha bahwa seluruh aset Rp 4,7 triliun milik perusahaan sesuai dengan laporan keuangan pada Desember 2019 itu diblokir dan disita oleh negara. Dengan demikian, para nasabah tak bisa mencairkan polis yang sudah jatuh tempo.
Baca Juga: OJK Ancam Cabut Izin Usaha Lima Perusahaan Asuransi Dalam Pengawasan Khusus Dia menerangkan Wanaartha Life hanya memberikan penjelasan kepada nasabah bahwa pemblokiran itu karena pihak perusahaan hanya dipanggil sebagai saksi atas kasus Benny Tjokro di kasus Jiwasraya dan dinyatakan bahwa pemblokiran akan dibuka dalam waktu dekat. Alhasil, bukannya dibuka, aset-aset malah disita oleh pihak negara. Oleh karena itu, pada Juni 2020, Wanaartha Life mengajukan pra peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas penyidikan aset tersebut dan hasilnya ditolak. "Kami mengikuti pra peradilan tersebut dan mendapati fakta bahwa tidak semua aset Wanaartha disita, tetapi hanya sebagian sebesar Rp 2,4 triliun. Saat itu, kami merasa dibohongi atas informasi berbeda dari sebelumnya," katanya. Johanes menyampaikan sejak saat itu, para nasabah mulai mencari informasi dan mulai mengirim surat kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meminta perlindungan dan penegakan hukum bagi nasabah pada Agustus 2020. Dia menyatakan OJK merupakan pihak yang pertama kali disurati. Sebab, kepercayaan nasabah yang tinggi kepada OJK, yang mana bisa melindungi konsumen. "Namun, nyatanya itu malah membuat kami sangat sedih karena tak ada respons atau balasan apa pun dari OJK. Padahal, kami sebagai konsumen butuh informasi yang benar dari OJK. Sudah hampir 4 tahun sampai saat ini tak direspons," ungkapnya.
Baca Juga: Kewenangan Penyidikan di UU P2SK Tak Disetujui Nasabah Wanaartha Life, Ini Kata OJK Oleh karena itu, Johanes menerangkan pihaknya melakukan aksi damai bersama para anggota aliansi ke kantor Wanaartha Life pada September 2020 untuk mendesak bertemu dengan pemilih perusahaan agar mendapatkan informasi yang benar. Alhasil, pihak pemilik menemui nasabah dan terkonfirmasi bahwa benar aset yang disita Rp 2,4 triliun. Dia pun menyebut ketika dihitung berdasarkan laporan keuangan 2019, masih ada sisa uang sekitar Rp 2 triliun. Adapun pada Oktober2020, PN Jakarta Pusat memutuskan bahwa aset Wanartha Life dirampas oleh negara. "Oleh karena itu, dengan adanya dua informasi tersebut, kami masih beriktikad baik dan mempercayakan ojk untuk melindungi kami. Dengan demikian, pada 5 November 2020, kami menyampaikan surat perlindungan kepada OJK lewat pengacara Agustinus dan rekan," ujarnya. Johanes menerangkan dalam surat itu, pihaknya menuliskan 10 permohonan sesuai aturan OJK dan UU Perasuransian. Mereka meminta dilakukan penyidikan. Meski dijawab 7 bulan kemudian, isi surat itu dianggap tak menjawab soal pertanyaan para nasabah. Dikarenakan terlalu lama membalas surat tersebut, nasabah akhirnya melakukan langkah sendiri pada 18 Desember 2022 dengan mengajukan permohonan keberatan di PN Jakarta Pusat atas aset yang dirampas. Sebab, para nasabah ingin sekali mengetahui informasi secara jelas. Johanes pun menyebut dalam mengajukan keberatan, pihaknya mendapati informasi penting dari peradilan tersebut. "Berdasarkan bukti dari termohon Kejagung, salah satunya bukti bahwa OJK sudah mengaudit Wanaartha sejak kasus Jiwasraya dan ternyata OJK yang meminta aset diblokir dan disita. Selain itu, ada informasi juga bahwa OJK sudah mengetahui kondisi dan tindakan Wanaartha sebelum aset diblokir OJK pada Januari 2020," tuturnya.
Johanes mengatakan dengan informasi yang dianggap valid itu, pihaknya bersama aliansi mengajukan laporan ke Bareskrim Polri pada 16 Februari 2021. Ternyata dengan dokumen itu, Bareskrim Polri langsung merespons dalam waktu 2 bulan dan langsung naik penyidikan sampai menjadi tersangka pada Oktober 2022. Sayangnya, pemilik perusahaan sudah lari ke luar negeri. Hingga saat ini, nasib para nasabah masih belum menemui titik terang. Sebagai informasi, pada agenda sidang 3 Agustus 2023, DPR dan Presiden telah menyampaikan keterangan terkait uji materiil tersebut. Sebelumnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah menyampaikan keterangan pada 28 Agustus 2023. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari