Korea Selatan Tingkatkan Keamanan Pejabat Penting Usai Pembunuhan Shinzo Abe



KONTAN.CO.ID - SEOUL. Korea Selatan meningkatkan keamanan untuk tokoh-tokoh penting di negara tersebut telah insiden pembunuhan mantan perdana menteri Jepang Shinzo Abe.

Layanan Keamanan Presiden mengatakan, bakal memperkuat langkah-langkah keamanan untuk Presiden Yoon Suk-yeol, dan Badan Kepolisian Nasional telah memerintahkan cabang regional untuk meningkatkan pemantauan untuk menjaga tokoh-tokoh kunci di Negeri Ginseng tersebut.

"Kami sedang meninjau sistem keamanan kami untuk presiden setelah penembakan Abe dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkuat postur keamanan kami," kata seorang pejabat di badan kepresidenan kepada Reuters, Selasa (12/7).


Abe, perdana menteri terlama di Jepang, ditembak mati pada hari Jumat (8/7) saat melakukan pidato kampanye di kota Nara. Kejadian ini mengejutkan Jepang, yang jarang terjadi kekerasan politik dan kejahatan senjata pun sangat jarang terjadi.

Saat ini, polisi Korea Selatan bersiap untuk Festival Budaya Queer Seoul yang digelar pada hari Sabtu (16/7). Selain tokoh penting dikabarkan menghadiri acara tersebut, termasuk Duta Besar AS untuk Korea Selatan yang baru, Philip Goldberg.

Baca Juga: Hyundai Motor Bakal Bangun Pabrik Kendaraan Listrik Pertama di Korea Selatan

"Kami berencana untuk memperketat keamanan karena ada sejumlah faktor risiko dengan kelompok oposisi juga akan mengadakan rapat umum pada saat yang sama," kata seorang petugas polisi.

Selama ini, keamanan duta besar AS di Seoul telah menjadi sumber kontroversi.

Pada tahun 2015, seorang pria Korea Selatan menyayat wajah Duta Besar AS untuk Korea Selatan saat itu, Mark Lippert, dengan pisau buah di sebuah forum. Kejadian itu meninggalkan luka dalam di wajah Lippert, dan membutuhkan 80 jahitan.

Selain itu, pada tahun 2019, sebanyak 20 pengunjuk rasa, memanjat tembok ke kompleks perumahan duta besar AS. Ini merupakan kejadian ilegal kedua dalam waktu setahun.

Polisi meningkatkan keamanan di lokasi tersebut setelah Departemen Luar Negeri AS membuat keluhan secara terbuka.

Editor: Anna Suci Perwitasari