JAKARTA. Panasnya harga minyak mulai mereda. Kabar bahwa Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama masih perlu meminta persetujuan Kongres sebelum menggelar aksi militer terhadap Suriah, telah meredakan kekhawatiran pasar atas gangguan distribusi minyak dari kawasan Timur Tengah. Alhasil, harga minyak merambat turun dalam tiga hari terakhir dari angka tertinggi di posisi US$ 110,1 per barel pada 28 Agustus lalu. Hingga Senin (2/9) pukul 19.15 WIB, harga minyak WTI untuk pengiriman Oktober 2013 di Bursa Nymex turun 0,72% menjadi US$ 106,87 per barel dibanding hari sebelumnya. Dalam tiga hari terakhir, harga minyak turun 2,93%. Ketua Kongres AS menyatakan baru bisa memberikan tanggapan atas rencana aksi militer setelah masa reses yang berakhir Senin (9/9) mendatang. Akhir pekan lalu, Inggris menolak bergabung untuk menyerang Suriah.
Sekadar mengingatkan, Timur Tengah menyumbang 35% produksi minyak global pada kuartal pertama tahun ini. Suriah berbatasan dengan Irak yang merupakan anggota OPEC. Irak adalah produsen minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Juni Sutikno, analis Philip Futures Indonesia mengatakan, pelemahan harga minyak di penutupan akhir bulan Agustus masih berlanjut hingga awal September ini. Penurunan harga terjadi karena pergerakan harga minyak sudah terlalu liar. Selain karena faktor penundaan aksi militer, harga minyak melemah karena pasar masih menunggu keputusan berlanjutnya stimulus moneter AS. "Jika stimulus dipangkas, maka dollar AS akan menguat dan akan berpengaruh pada pelemahan harga komoditas," kata Juni. Daru Wibisono, analis Monex Investindo Futures menambahkan, pelemahan harga minyak dunia juga akibat membaiknya sejumlah data ekonomi penting AS yang dirilis akhir pekan lalu. Data-data tersebut meningkatkan keyakinan pasar terhadap percepatan pengurangan stimulus moneter AS.