Korporasi gali utang baru US$ 3,3 Miliar



JAKARTA. Jika ada kesempatan berekspansi, tapi kantong kempes, utang bisa menjadi pilihan. Itu sebabnya, korporasi Indonesia ramai-ramai menerbitkan surat utang berdenominasi dollar Amerika Serikat alias global bond. Hingga penghujung tahun ini, ada potensi penerbitan obligasi global US$ 3,35 miliar atau sekitar Rp 39,74 triliun. 

Salah satu dari enam perusahaan yang berencana meluncurkan obligasi global adalah PT Pertamina, nilainya US$ 1,5 miliar. Surat utang yang jatuh tempo tahun 2044 ini mendapat peringkat final BBB- dari Fitch Ratings akhir Mei lalu. Dananya akan mengalir untuk belanja modal dan keperluan umum.

PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO) juga berniat menerbitkan obligasi global US$ 100 juta atau setara US$ 962,79 pada Juni ini. Surat utang bertenor tiga tahun ini mematok kupon 7,875% per tahun.


Emiten lain, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL) siap global bond senilai US$ 350 juta. Sekitar 60% dana untuk percepatan pembayaran utang atau refinancing.

Lalu, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) berniat mencari utangan senilai US$ 500 juta dengan kupon maksimal 8%. Pelindo III juga akan menerbitkan surat utang senilai US$ 400 juta untuk belanja modal tahun ini. Kemudian, PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) antara US$ 300 juta - US$ 500 juta pada akhir tahun ini.

Mei lalu, PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk lebih dulu menerbitkan global bond senilai US$ 1,35 miliar. Obligasi bertenor 10 tahun itu memberikan kupon 5,125%. 

Analis Millenium Danatama Asset Management, Desmon Silitonga, menilai maraknya penerbitan global bond, karena cost of fund yang lebih murah ketimbang obligasi rupiah. Mengingat, penetapan kupon global bond mengacu yield obligasi AS, US Treasury yang lebih rendah dibanding surat utang negara (SUN).

Data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) menunjukkan, Senin (2/6), yield US Treasury bertenor 10 tahun tercatat 2,45%. Sedangkan, yield SUN seri benchmark FR0070 pada perdagangan Selasa (3/6) sebesar 7,64%.

"Saat ini spread suku bunga acuan Indonesia dengan AS, Jepang dan Eropa sekitar 7%. Selisih besar ini mendorong korporasi meminjam ke pasar keuangan global," ungkap Desmon.

Tapi, fluktuasi nilai tukar menimbulkan risiko bertambahnya beban bagi perusahaan penerbit. "Untuk membayar kupon, emiten akan terimbas risiko kurs," katanya.

Analis obligasi, Fakhrul Aufa, bilang untuk mengurangi risiko, emiten biasanya melakukan hedging nilai tukar. Jika emiten bisa melakukan hedging, tidak demikian dengan kekuatan nilai tukar. Ketika pembayaran kupon atau utang jatuh tempo, emiten tentu akan memburu dollar AS. Di saat itulah nilai tukar rupiah loyo, seperti yang terjadi sepekan terakhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia