Korporasi masih ogah terbitkan sukuk



JAKARTA. Penerbitan sukuk korporasi di awal 2017 masih sepi. Emiten korporasi lebih memilih menerbitkan obligasi konvensional ketimbang sukuk karena biaya penerbitan yang lebih tinggi.

Merujuk data pendaftaran efek baru di situs Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) hingga 15 Maret 2017, penerbitan sukuk korporasi baru mencapai Rp 386 miliar, yang diterbitkan oleh Adira Finance. Jumlah ini jauh di bawah pendaftaran emisi obligasi korporasi konvensional yang mencapai Rp 20,51 triliun pada periode yang sama.

Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristiantoro berpendapat, minimnya penerbitan sukuk korporasi di awal tahun lebih disebabkan oleh risiko likuiditas yang cukup besar di pasar sukuk. Bagi investor, hal ini membuat risiko sukuk lebih tinggi dibanding obligasi konvensional.


Alhasil, investor akan meminta yield yang lebih tinggi. Sehingga dapat mendorong tingginya cost of funds (CoF) dari emiten yang ingin menerbitkan sukuk, ketimbang menerbitkan obligasi konvensional, kata Nico. Otomatis, minat korporasi menerbitkan sukuk juga berkurang.

Nico menyebut, minimnya likuiditas di pasar sukuk secara tahun berjalan terlihat dari transaksi yang hanya Rp 27 miliar per hari. Jumlah itu jauh tertinggal dibanding obligasi korporasi konvensional yang nilai perdagangannya mencapai Rp 687 miliar per hari. Selain itu, banyak istilah-istilah dalam sukuk yang masih belum dikenal secara luas, ini turut menjadi pertimbangan emiten, papar Nico.

Senior Research Analyst Pasar Dana Beben Feri Wibowo menilai, momentum menjadi faktor dominan minimnya penerbitan sukuk korporasi di awal tahun. Ia melihat, kondisi tahun ini berbeda dengan tahun lalu, di mana sentimen positif sudah membayangi kondisi pasar pendapatan tetap akibat pemangkasan BI rate pada Januari 2016.

Sementara tahun ini, Bank Indonesia (BI) sulit memangkas suku bunga acuan akibat ketidakpastian kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Tambah lagi ada spekulasi kenaikan suku bunga The Fed.

Selain itu, emiten juga mempertimbangkan kupon sukuk, terutama di luar ijarah yang bersifat floating, berpotensi membesar akibat sentimen eksternal dari AS. Oleh karena itu, emiten diduga lebih memilih menerbitkan obligasi konvensional dengan besaran kupon yang bersifat fixed.

Penerbitan turun

Ke depan, Nico memprediksi nilai penerbitan sukuk korporasi akan cenderung sama seperti tahun lalu, atau bahkan menurun. Pemicu utamanya ialah risiko kenaikan CoF.

Apalagi risiko tersebut timbul akibat sentimen global, seperti kenaikan Fed funds rate (FFR), yang diperkirakan bakal lebih agresif di tahun ini. Hal tersebut akan membuat yield obligasi domestik terkerek naik. Imbasnya CoF pun meningkat.

Kendati nilainya relatif kecil jika dibandingkan dengan obligasi konvensional, penerbitan sukuk korporasi terus meningkat setiap tahun. Nico mencatat penerbitan sukuk korporasi tahun 2014 sebesar Rp 923 miliar dari 7 seri.

Pada 2015 jumlah penerbitannya naik menjadi Rp 3,17 triliun, terdiri dari 15 seri. Lalu di 2016, jumlah penerbitan bertambah menjadi Rp 3,92 triliun terdiri dari 15 seri. Sukuk korporasi masih dianggap sebagai instrumen yang menarik untuk investor karena underlying asset-nya jelas dan imbal hasil yang ditawarkan tinggi, kata Nico.

Senada dengan Nico, Beben pun memprediksi penerbitan sukuk secara nominal tahun ini bisa lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu, seiring dengan tekanan global yang lebih besar.

Meski demikian, Beben menilai kondisi fundamental ekonomi dalam negeri yang baik secara keseluruhan akan mampu menopang pasar pendapatan tetap dari tekenan sentimen global. Dengan begitu, premi risiko investasidalam negeri cenderung stabil, sehingga cost of fund penerbitan sukuk lebih pasti.

Ujung-ujungnya, emiten tidak akan ragu dalam menerbitkan sukuk, terutama di luar ijarah yang sifatnya floating. Beben memperkirakan tahun ini nilai penerbitan sukuk bakal berkisar Rp 2 triliun sampai Rp 2,5 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia