Korupsi dan Impotensi Sistem



KONTAN.CO.ID - Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dialami Bupati Sidoarjo Saiful Ilah terkait kasus pengadaan barang dan jasa dan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan karena dugaan transaksi suap, mengindikasikan praktik korupsi di negeri ini nyaris tak menyisakan sedikitpun ruang bersih dalam pengelolaan negara. Kejahatan korupsi justru mengobok-obok peserta pemilu (kepala daerah) dan penyelenggara pemilu (KPU) sekaligus. Sebelumnya KPU sempat mengeluarkan aturan soal larangan napi antikorupsi mengikuti pemilu. Kini, napi itu justru bersemayam di KPU sendiri.

Paradoks itu sekaligus menohok gaya eliminasi korupsi kita yang "teatrikal" dalam penindakan, tapi tak serius dalam pencegahan. Akibatnya gerak pemberantasan korupsi seolah stagnan.

Transparansi Internasional di awal 2019 pernah merilis Laporan Tahunan Indeks Persepsi Korupsi 2018. Ternyata dua per tiga dari 180 negara yang disurvei mendapat skor kurang dari 50. Skor tertinggi 100, artinyua sangat bersih atau bebas korupsi. Terendah nol yang berarti sangat korup.


Hanya 20 negara yang berhasil memberantas korupsi yakni Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapura, Swedia, Swiss, Norwegia, Belanda, Kanada, Luksemburg, Jerman, Inggris, Australia, Austria, Hong Kong, Islandia, Belgia, Estonia, Irlandia, dan Jepang.

Bagaimana Indonesia? IPK Indonesia bergerak ke posisi 89 (dibanding tahun sebelumnya di peringkat 96), sedikit di bawah China. Untuk Asia Tenggara, Indonesia kalah dari Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia.

Ini menunjukkan, proyek eliminasi korupsi di Indonesia belum seindah ekspektasi terbitnya UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ingin menghadirkan wajah superbody dan trigger mechanism serta supervisi institusi hukum lain dalam hal pemberantasan korupsi sehingga meningkatkan kualitas layanan publik, mengeliminir kebocoran anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan warga.

Subjektifitas berpolitik

Apa yang menyebabkan mimpi pemberantasan korupsi belum mencapai klimaks memuaskan hingga saat ini? Salah satunya karena budaya pembangunan sistem atau institusional kita yang masih lemah (impoten).

Pelaksanaan reformasi birokrasi misalnya di berbagai institusi, masih mengandalkan intervensi di aspek aktor/individu ketimbang secara serius menginjeksi sistem atau mekanisme kelembagaan dengan nilai dan spirit transparansi, akuntabilitas serta budaya inovasi. Padahal nilai-nilai itu sangat penting dalam menunjang terbentuknya integritas pelayanan publik yang memberi dampak langsung pada kepuasan masyarakat.

Tidak heran jika birokrasi kita belum menghasilkan preseden yang baik. Di daerah misalnya, jumlah pegawai yang banyak menyulitkan penempatan mereka ke dalam formasi jabatan yang sesuai di organisasi pemerintah daerah, sehingga struktur birokrasi dirancang berbasis pada jumlah manusianya ketimbang konsep strategis sesuai visi pembangunan daerah.

Pengangkatan pegawai honorer atau rekrutmen pejabat lokal, promosi jabatan PNS, masih dikendalikan kekuatan politis kepala daerah, sehingga sulit bagi birokrasi untuk mendapatkan sumber daya yang berkualitas dan profesional. Birokrat yang diangkat karena pertimbangan subjektivitas atau komoditas politik kepala daerah.

Kelemahan serupa juga menjadi paradigma yang luas dan masif di dalam pola politik kita yang mengabaikan membangun sistem manajemen kontrol kelembagaan yang menjamin terciptanya akuntabilitas publik yang rasional, berintegritas. Parpol saat ini, terbukti masih lemah dalam menata sistem rekruitmen, kaderisasi, termasuk pengelolaan anggaran, sehingga sekalipun berganti orang, performa parpol tetap disuburi oleh pelbagai penyakit korupsi politik sistemik dan akut.

Padahal jika sistem kelembagaan parpol direhabilitasi gradual seiring hembusan dasyat atmosfir pemberantasan korupsi yang dijalankan KPK maupun lembaga-lembaga konvensional lainnya. Maka sistem yang baik dan berintegritas itu akan menyeleksi secara otomatis individu atau aktor-aktor di dalamnya.

Saat ini, partai cenderung mengambil posisi sebagai kekuatan instrumentalistik politik-kekuasaan yang dicoraki kultur parasitisme, transaksional, ketimbang institusi organik yang terkonstruksi sebagai wadah edukasi politik-kewarganegaraan dan kematangan menjalankan hak dan kewajiban demokrasi bagi anggotanya.

Salah satu contoh konkret bagaimana parpol terjebak dalam individualisasi, terlihat pada saat pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Selalu saja di tengah tuntutan demokratisasi kontestasi, kita melihat parpol sibuk membangun pencitraan dan kepentingan kekuasaannya dengan mengangkat kandidat karbitan yang populer, memiliki modal finansial mentereng, ketimbang mempromosikan kader berpengalaman dan memiliki gagasan cemerlang. Ini terjadi karena parpol enggan berjibaku membersihkan institusinya dari tradisi politik parsialisme atau subjektifisme.

Masih rentan

Andai saja parpol berkomitmen membenahi sistem organisasi dan tatakelola, termasuk merancang dan membuat mekanisme kaderisasi atau pencalonan kepala daerah dan legislatif berbasis indikator yang jelas, terukur dan transparan. Parpol juga bisa membangun demokratisasi bagi pengurusnya di dalam menentukan calon pejabat politik tanpa menggantungkan pada ketua umum. Dengan begitu, ke depan partai akan menjadi mesin politik yang mampu membawa atmosfir demokratisasi secara lebih nyata dan menjanjikan.

Sejak 21 reformasi. Seharusnya sistem birokrasi dan pemerintahan kita sudah meninggalkan jauh watak otoriter menuju pada tahapan konsolidasi demokrasi (bdk Diamond, 2006). Namun kenyataannya, pergeseran ini belum mampu menggaransikan terbangunnya suatu pemerintahan yang bebas dari korupsi.

Seperti kata Amy L Freedman (2006), era transisi justru rentan menciptakan kegagalan berdemokrasi jika nilai good governance dalam hal transparansi dan akuntabilitas tak sungguh ditegakkan. Saat sistem perundang-undangan (dalam aspek penataan birokrasi maupun pemberantasan korupsi) yang mereduksi kewenangan berlebihan pada satu individu/lembaga tidak kunjung direvisi mengikuti semangat perubahan.

Bahkan Bertrand de Speville dalam Why Do Anti-Corruption Agencies Fail? (2000) mengatakan bahwa pemberantasan korupsi di suatu negara akan gagal jika model peperangan terhadap korupsinya terlalu mengandalkan penindakan atau penegakan hukum setelah korupsi itu terjadi, ketimbang membangun dan mengembangkan metode pencegahan lewat penataan sistem pengawasan, perbaikan undang-undang termasuk melakukan edukasi dan kampanye yang bertujuan meningkatkan kesadaran publik dalam melawan korupsi.

Penulis : Umbu TW Pariangu

Dosen Fisip Universitas Cendana Kupang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti