Kota Tua Jakarta, tak sehebat masa lalunya



JAKARTA. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku kecewa terhadap kinerja PT Pembangunan Kota Tua Jakarta atau Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC) dalam merevitalisasi kawasan Kota Tua, Jakarta Barat.

"JOTRC enggak kerja juga. Mereka cuma perbaiki gedung-gedung dia (gedung yang jadi tanggung jawab JOTRC). Progress bertahun-tahun hanya (revitalisasi) satu dua gedung," kata Basuki yang karib disapa Ahok, di Balai Kota, Rabu (27/1).

Kekecewaan Ahok mudah dipahami. Menurut pemerhati kota dan arsitek Prada Tata Internasional (PTI) yang juga anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Aditya W Fitrianto, kawasan Kota Tua adalah cikal bakal perjalanan Kota Jakarta.


Sayang dalam perkembangannya kini, kata Aditya, kawasan Kota Tua menjadi kurang terlihat sehebat masa lalunya sebagai Kota Batavia.

Untuk lebih memahami apa dan bagaimana perkembangan Kota Tua, Aditya menuliskannya dalam tulisan berikut ini:

Kota dalam Tembok

Kawasan Kota Tua berawal dari area di dalam tembok kota yang dulu sempat memagari Kota Batavia. Meski tidak pernah benar-benar melindungi dari serangan musuh, tipologi bentuk kota seperti ini memang lazim terdapat di kota-kota di Eropa.

Dalam perkembangannya, rencangan induk atau masterplan kawasan cagar budaya Kota Tua yang disusun pusat studi urban desain (PSUD) ITB pun membaginya jadi kawasan inti dan area di sekelilingnya sebagai kawasan buffer (penyangga) sehingga tetap diperhatikan sebagai suatu kawasan konservasi Kota Tua.

Sebagai sebuah kawasan sisa kota lama, Kota Tua terbilang unik. Karena di sini kita dapat melihat dan mengalami perjalanan panjang sebuah ‘kota’ sejak abad 17 hingga akhir tengah abad 20.

Dari bangunan Gudang Barat (Museum Bahari) yang dibangun akhir abad 17 hingga bangunan Stasiun KA Beos pada awal paruh abad 20. Hal ini membuat karakter ruang kota kawasan lebih ‘cantik’ dan memiliki nilai arsitektur lebih baik. Bahkan dibanding kawasan lama kota Singapura yang didominasi tipologi ruko (shophouse).

Bedanya mereka memiliki tingkat kesadaran untuk mempertahankan sejarah kotanya lebih baik dari kota Jakarta. Tentu ini yang sedang diperjuangkan tiap pemimpin kota Jakarta dalam menampilkan sisi masa lalu kota kita ini.

Program revitalisasi atau pemanfaatan fungsi kota lama dengan kegiatan baru yang lebih menaikkan nilai bangunan dan ruang kota ini, sudah mulai berlangsung sejak pertengahan 1970-an.

Gubernur DKI Jakarta Ali SAdikin saat itu mulai meresmikan bekas balaikota (Stadhuis) menjadi Museum Sejarah Jakarta. Sejak itu diikuti beberapa bangunan cagar budaya lain, macam museum dan sebagainya.

Di bawah Ali Sadikin, kawasan Kota Tua akan dijadikan kawasan sosial bersifat sejarah dan tempat warga dapat belajar masa lalu mereka.

Badan otorita

Sayangnya upaya awal tersebut kurang bergulir dengan baik pada beberapa dekade berikutnya. Kawasan ini terseok, tergerus cepatnya pembangunan di luar kawasan. Bangunan tua (cagar budaya) menjadi terlihat kumuh dan mulai hancur karena tidak terawat.

Infrastruktur kota kawasan juga kurang diperhatikan, sehingga kurang nyaman bagi pejalan kaki untuk menikmati kawasan Kota Tua ini.

Banyak upaya akhirnya dilakukan oleh beberapa arsitek dan pemerhati pusaka bangunan tua bersama Pemprov DKI Jakarta untuk mulai membangun kembali kawasan ini. Meski kemudian terbentur kendala, seperti kendala administrasi.

Kawasan Kota Tua terbagi 2 wilayah administrasi yaitu Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Kenala lainya banyaknya pemilik dalam satu bangunan tua serta tidak adanya dana dan biaya dalam upaya merestorasinya.

Kondisi ini sebenarnya dapat disikapi dengan sedikit kemauan keras pihak Pemprov DKI Jakarta. Antara lain dengan membuat Badan Otorita yang membawahi kedua wilayah administrasi dan berwenang mengatur setiap proyek revitalisasi di kawasan ini.

Revitalisasi dan cagar budaya

Bicara revitaslisasi Kota Tua, tidak lepas dari dua elemen penting kota. Pertama, bangunan tua (cagar budaya) yang ada dan kedua, tentu ruang luar (streetscape) kawasan yang perlu ditata kembali. Jadi memang tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, yang diperlukan sinergi merevitalisasi kedua elemen tersebut.

Revitalisasi bangunan tua tentu akan memerlukan waktu dan ketelitian lebih dalam, sehingga perlu waktu lebih lama dalam memperbaikinya. Berbeda dengan revitalisasi ruang luar kawasan, yang tentu lebih bersifat merapikan dan memperbaiki infrastruktur yang ada berikut elemen ruang luar di ruang kota tersebut.

Saat ini sebenarnya Pemprov DKI Jakarta sudah benar dengan memberikan konsesi bagi Jakarta Old Town Revitalization Coorporation (JOTRC) sebagai pelaksana revitalisasi bangunan tua yang sudah disepakati untuk dipugar bersama pemilik sebagai stakeholder kawasan ini.

Di lain pihak, Pemprov DKI Jakarta juga masih perlu menunjuk satu tim konservasi lain yang fokus merevitalisasi ruang-ruang luar berupa koridor jalan yang ada di dalam kawasan. Tim ini akan lebih dekat berkoordinasi dengan dinas pemprov terkait.

Sedangkan pihak Otorita Kota Tua dapat berfungsi sebagi pemimpin proyek kawasan dengan berlandaskan masterplan yang sudah ada dan dikembangkan oleh pihak PSUD ITB.

Kejelasan ini tentu akan dapat memberikan sinergi sehingga menghasilkan suatu upaya revilatisasi lebih baik. Dibanding sekadar menyalahkan pihak lain yang terlihat lambat.

Semua pihak bagi Pemprov tentu ingin menghasilkan penataan yang baik dan cepat. Namun perlu diingat ada perbedaan karakter dalam proses revitalisasi ini.

Oleh karena itu, kita perlu bijak menyikapi proses konservasi yang sudah berjalan. Dan tetap mendorong sikap sinergi yang lebih dewasa di antara pihak yang terlibat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie