KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Ibu Kota Negara (IKN). Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkap, sejumlah pasal dalam UU IKN telah melanggar konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengkritisi, isi Pasal 16A UU IKN telah mengkhianati UUPA, lantaran hak guna usaha (HGU) adalah selama 95 tahun dan dapat diberikan lagi selama 95 tahun. Padahal, UUPA tidak mengenal siklus pemberian HGU dan hak guna bangunan (HGB). “UUPA tidak mengenal pemberian siklus dua kali, jadi ini kan memang tujuannya, motifnya, kan ingin mempromosikan proyek IKN sebagai proyek yang sangat menguntungkan, bisa investasi jangka panjang, ada jaminan kepastian hukum, dan lain-lain,” tekan Dewi kepada Kontan.co.id, Senin (09/10).
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Soroti Revisi UU IKN Dewi juga mengatakan bahwa telah terjadi upaya dalam menaikkan hierarki hukum dari UU IKN. Pasalnya, siklus 190 tahun HGU dan 160 tahun HBG tadinya hanya tercantum di PP No. 12 Tahun 2023. Namun kini, aturannya telah tertuang di level UU IKN itu sendiri. Selain itu, Dewi juga menyoroti Pasal 42 UU IKN yang menurutnya menjadi bentuk dalam
abuse of power. Pasal ini dianggap sebagai aturan sapu jagat. Artinya, jika ada aturan yang bertentangan dengan UU IKN, maka aturan tersebut dinyatakan tidak berlaku. “Dia tidak setia pada konstitusi kita, utamanya pasal 33 Ayat 3, kepada UUPA, tapi dia lebih mengacu ke undang-undang yang memperkuat motif dia untuk memperbesar perampasan tanah yang berkedok pembangunan Ibu Kota Negara,” ucap Dewi. Dewi mengungkap, ada rencana KPA untuk menggugat UU IKN karena pelanggaran-pelanggaran yang telah disebutkan. Namun, masih menunggu waktu yang tepat.
Baca Juga: Otorita Ibu Kota Negara Leluasa Mencari Utang, Akankah Beban Negara Kian Bertambah? “Kita menunggu ketika memang MK sudah kembali menjadi penjaga konstitusi. Kemarin kita melihat refleksi dari gugatan UUCK dan itu gugatan kita tidak diterima, itu menunjukkan sebenarnya MK sedang hilang fungsi dan posisinya sebagai penjaga konstitusi,” imbuhnya. Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menyebut, terdapat cacat konsep pembentukan pada UU IKN sejak awal. Akibatnya, revisi UU IKN menjadi bagian dari kesadaran pihak pemerintah bahwa banyak rintangan dan problematika dalam pembentukan IKN. Feri bilang, Pasal 42 UU IKN merupakan pasal sapu jagat yang lahir sebagai metode pembentukan peraturan perundang-undangan karena gagal melakukan harmonisasi dan mengatasi aturan yang berbenturan.
Baca Juga: Presiden Jokowi Pastikan Ada Insentif Bagi ASN yang Pindah ke IKN “Kalau apapun pasal peraturan perundang-undangan yang bertentangan dianggap tidak berlaku, kan artinya mereka tidak tahu pasal mana saja undang-undang mana saja yang kira-kira berbenturan, di sanalah kegagalan melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan,” kata Feri. Feri berpendapat, UU IKN telah melanggar konsep tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Menurutnya, undang-undang mana yang dinyatakan untuk dibatalkan dalam UU IKN sudah sepatutnya untuk disebutkan, sekaligus juga setiap pasal-pasal peralihannya. Feri menambahkan, pengajuan gugatan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi atas UU IKN sangat potensial. Namun, kendalanya ada pada rendahnya kepercayaan masyarakat kepada MK. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli