MOMSMONEY.ID - Ikatan Dokter Anak Indonsia menyalakan lonceng keras, tentang “persoalan besar” tentang anak anak yang datang ke fasilitas cuci darah, Bahwa 1 dari 5 anak mengalami ganguan ginjal. Bahwa Indonesia mempunyai persoalan, di tengah kemajuan industri makanan, dan mudahnya mendapatkan makanan yang mengandung gula, lemak dan garam. Menariknya kemasan makanan, jangkauan yang mudah (melalui gawai, medsos, pesan makan online). Yaitu banyaknya anak anak yang datang ke fasilitas cuci darah. Karena mengkonsumsi gula, garam, dan lemak tanpa kontrol. Data tersebut di ungkap Ikatan Dokter Anak Indonesia di perayaan Hari Anak Nasional. Bahwa 1 dari 5 anak mengalami gangguan ginjal. "Tentu saja hasil penelitian para dokter anak di seluruh Indonesia, menjadi peringatan keras buat kita semua. Bahwa dengan perkembangan industri makanan, yang didukung perkembangan zat, kimia dan olahan makanan," ujar Jasra Putra, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam keterangannya.
Disisi lain, Jasra juga menilai harga yang sangat murah, dan industri kemasan yang kekinian rupanya meninggalkan persoalan untuk anak anak kita, yang belum memahami komposisi gizi seimbang. Ini juga katanya menjadi tantangan besar, untuk lembaga pengawasan obat dan makanan kita, bagaimana menghadirkan uji lab makanan di tengah masyarakat. Agar ada pengawasan. "Kita juga berharap program makan gratis, tidak hanya bicara makanan, bagaimana ada mekanisme sistem yang bisa melindungi, mengendalikan industri makanan kita, melalui program makan gratis ke depan, sosialisasi gejala ginjal pada anak, bagaimana pengawasan makanan dan uji lab makanan bisa hadir di tengah masyarakat," tambahnya.
Baca Juga: Cara Menggunakan Fitur Akun Remaja di Instagram untuk Keamanan Pengguna Muda Sebagai pencegahan dan deteksi dini, menurut Jasra penting segera ada sosialisasi gejala sebelum terganggu ginjalnya dan cuci darah, kemudian konsumsi air putih yang perlu diperhatikan, mengurangi konsumsi zat pembuat manis, garam dan lemak. Kita juga perlu membudayakan olahraga di keluarga, sekolah dan masyarakat, ditengah kurang bergeraknya anak karena gawai “perlu menggiatkan lagi olahraga dan budaya. Di sisi lain, kita juga bicara perubahan iklim, yang mengubah perilaku anak, dan larinya banyak mengkonsumsi jajanan. Saya kira kemasan makanan sekarang “jadi barang mewah”, menjadi industry viral, dengan kemasan kemasan yang luar biasa menarik untuk anak. "Namun apakah disana ada uji lab dan pengawasan, Nah, ini PR kita semua untuk memastikannya. Bagaimana memastikan lembaga BPOM juga memiliki jejaring kerja pengawasan obat dan makanan di tengah masyarakat, di lingkungan sekolah, lingkungan bermain anak," sebut Jasra lebih lanjut. Orangtua juga harus memperhatikan pesan para dokter, Batasan konsumsi gula. Yang bila berlebihan, akan mempemgaruhi suasana hati mereka, yang berujung mudah cemas dan reaktif. Sehingga ujungnya bersikap agresif dan menyebabkan anak tidak memiliki kecerdasan emosi, reaktif, berujung rentan, dan mudah mendapat perlakuan salah. Begitu juga tren tantangan makan pedas dengan level yang beresiko menganggu pencernaan. Dan memicu makan lebih banyak. Sehingga kita membayangkan aktifitas anak anak, yang lebih banyak di medsos, disrupsi informasi yang jarang bergerak. Dan di picu reaksi konsumsi makanan berlebihan akibat reaksi rasa, seperti level pedas, asam, manis, asin yang melebihi batas normal. Begitupun perilaku hidup konsumsi makanan berlebih tanpa bamyak bergerak, tak mengenal waktu makan, yang menyebabkan obesitas dan gizi tidak ber imbang.
Baca Juga: Tips Menuju Mental yang Sejahtera Jasra mencatat, survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dari Kementerian Kesehatan dalam riset memetakan berbagai indikator kesehatan pada masyarakat, salah satunya adalah prevalensi obesitas yang meningkat. "Kita juga jangan lupa, negara kita masih berjuang menurunkan angka stunting yang tinggi. Negara sendiri punya kebijakan UU Kesehatan tentang pengawasan dan upaya kesehatan masyarakat tentang pengendalian, pencegahan konsumsi berlebih gula, garam danlemak. Kita juga bisa mendorong lembaga halal, untuk menjadi bagian pengawasan di masyarakat. Agar di pastikan ada pengendalian, pembatasan dan pemgaturan produk kandungan zat makanan," bebernya. Sehingga dari hal ini, orangtua berperan penting mengejar ketertinggalan pemenuhan hak kesehatan. Dalam rangka mempersiapkan modal kesehatan yang tinggi untuk masa depan anaknya. Orangtua juga menghadapi persoalan makanan berperasa. Yang menggunakan zat kimia. Seberapa jauh pengawasannya.
"Kita juga menyayangkan ya. Industri candu juga menjadi industri yang seolah olah seperti makanan. Dengan menghadirkan zat perasa atau dengan berbagai rasa. Ini sangat berbahaya, karena kandungan sesungguhnya berdampak mengerikan," tandasnya. Untuk hal tersebut, Jasra berharap kebijakan negara yang mengatur, mengendalikan dan memberi sanksi. Karena tanpa ini kita akan gagal melindungi anak anak. "Karena mereka tidak tahu bagaimana proses makanan sehat. Yang mereka tahu makanan itu viral, jajanan itu viral, makanan kekinian, dimakan oleh figur yang ia suka," tuturnya.
Baca Juga: Ternyata Ini Beda Street Art dan Vandalisme, Jangan Disamakan Ya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Jane Aprilyani