JAKARTA. Penerapan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik atau e-procurement dinilai belum menjadi jaminan bebas dari praktik korupsi. Wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, meskipun prosea lelang sudah mulai dilakukan secara elektronik, tidak menjadi jaminan praktik korupsi hilang. Menurut Alex, KPK masih menemukan banyak kasus korupsi yang dilakukan melalui sistem e-procurement. "Meskipun lelang sudah banyak dilakukan melalui e-procurement, tidak menjamin bebas dari korupsi. Banyak korupsi yang dilakukan melalui e-procurement," ujar Alex saat menghadiri diskusi Apkasi Procurement Network 2016: Membangun Kemitraan Pemda dan Penyedia Barang Jasa, di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa (23/8).
Alex menuturkan, sebanyak 90% perkara korupsi yang dihadapi aparat penegak hukum, termasuk KPK, menyangkut pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa merupakan titik rawan dalam perkara korupsi mulai dari perencanaan, pengadaan lelang hingga pelaksanaan teknis. "Itu yang kami hadapi," kata dia. Alex pun menjelaskan, umumnya praktik korupsi yang terjadi bermula dari adanya intervensi dari oknum di dalam instansi dan pihak eksekutif. Intervensi itu terjadi sejak dalam tahap perencanaan. Tidak jarang dalam tahap lelang, pemenang tender sudah diketahui. Jika pemenang tender sudah ditentukan sejak awal maka bisa dipastikan ada praktik korupsi. "Dari perencanaan misalnya, ada intervensi baik dari instansi maupun eksekutif. Sehingga barang yang tifak begitu dibutuhkan, karena menyangkut kepentingan suatu pihak, jadi diada-adakan," ungkapnya. Kurangnya pengawasan dan integritas Menurut Alex, tidak maksimalnya sistem e-procurement disebabkan kurangnya pengawasan saat pengadaan barang dan jasa sehingga mudah sekali diintervensi oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak terkait langsung. Selain itu, penunjukan pejabat pemeriksa barang kerap dilakukan sebatas formalitas dengan tidak memperhatikan kualifikasi yang dimilikinya. "Saat diminta memeriksa terkait penyelesaian pekerjaan, mereka tidak tahu apa-apa. Jadi semua dokumen hanya sebatas formalitas," kata Alex. Ditemui secara terpisah, Direktur Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Umum Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa Pemerintah (LKPP) Fadli Arif menuturkan, sebagian besar pelaku pengadaan barang dan jasa hanya mempunyai sertifikat tingkat dasar. Bahkan menurutnya, masih banyak pihak pengada barang tidak tidak punya sertifikat sama sekali. Hal tersebut menunjukkan persoalan kompetensi sering dikesampingkan oleh pejabat pengadaan barang dan jasa. "Sertifikat terkaif kompetensi yang harus dimiliki oleh pihak pengada barang dan jasa atau supplier. Ini jadi tanda tanya apakah mereka punya kompetensi sebagai pengada barang," ujar Fadli. Fadli juga melihat minimnya integritas menjadi penyebab terjadinya praktik korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa.
Menurutnya, masih banyak ditemukan praktik persekongkolan tender, baik secara vertikal maupun horizontal meski telah dilaksanakan e-procurement. Terjadinya persekongkonglan secara vertikal menjadi indikasi bahwa masalah kecurangan terjadi bukan hanya dari sisi pejabat pengelola, tapi juga dari sisi penyedia. "Soal integritas, masih banyak persekongkolan vertikal dan horizontal. Ini juga masalah dari sisi penyedia. Bukan hanya dari pengelola. Saya melihat meski telah dilaksanakan e-procurement, korupsi masih terjadi sejak tahap perencanaan sampai dengan serah terima," kata Fadli. (Kristian Erdianto) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia