KPK Memeriksa Pejabat Menko Kesra



JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin intensif menelisik kasus dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan yang melibatkan Departemen Kesehatan (Depkes) dan Kementerian Koodinator Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Kali ini, penyidik KPK memeriksa Asisten Deputi Sekretaris Menko Kesra (Sesmenkokesra), Fardhon Hanafiah.Jurubicara KPK Johan Budi S.P. bilang, Fardhon diperiksa sebagai saksi. "Dia diperiksa sebagai saksi SY dalam pengadaan vaksin flu burung," kata Johan saat dihubungi melalui sambungan telepon, (10/09). Tersangka SY adalah Soetedjo Yuwono, mantan Sesmenkokesra.KPK memeriksa Fardhon selama tujuh jam. Usai menjalani pemeriksaan, Fardhon tak memberikan komentar. Untuk mendapat tanggapan soal keterlibatan pejabat kantor Kesra, KONTAN menghubungi Lalu Mara, Jurubicara Menkokesra Aburizal Bakrie. Tapi, ia tak bersedia memberi komentar soal ini. "Saya tidak punya wewenang untuk memberikan keterangan," kata Lalu Mara melalui telepon.Lalu Mara hanya menjelaskan bahwa saat ini Fardhon masih aktif menjabat sebagai Asisten Deputi (Asdep). "Lebih baik tanya Pak Fardhon sendiri saja," elaknya. KPK sudah lebih dulu memintai keterangan dua pejabat Kesra lain sebagai saksi. Mereka adalah Asisten Deputi Pelayanan Kesehatan (Asdep Yankes),Sri Henni Setiawati dan pejabat Kesra, Wahyuning Tri Indarti.Kemungkinan, KPK bakal menyisir satu persatu pejabat di Kesra. Begitu pula dengan pejabat di Depkes. Sebelumnya, KPK telah menetapkan Staf Ahli Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Soetedjo sebagai tersangka. Soetedjo terjerat kasus ini dalam kapasitasnya sebagai mantan Sesmenkokesra saat proyek pengadaan alat ini terjadi.Dalam pemeriksaan sebelumnya, Soetedjo mengaku ada usulan dari Depkes untuk pengadaan vaksin flu burung. Usulan tersebut dibahas dalam rapat koordinasi (rakor) tingkat menteri yang dihadiri Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, dan Menteri Koordinator Kesra.Nilai proyek vaksin flu burung ini sebesar Rp 98,63 miliar. KPK menduga Soetedjo telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya dengan tidak menenderkan proyek dan mark up harga. Akibatnya, negara mengalami kerugian Rp 32,61 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dikky Setiawan