KPK minta cabut pasal tipikor, DPR : Tidak perlu dikhawatirkan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Mulfachri Harahap menanggapi surat Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo untuk menghapus pasal soal tindak pidana korupsi (Tipokor) dalam RUU KUHP yang tengah dirumuskan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR.

Mulfachri mengatakan, rapat yang di selenggarakan terbuka di komisi III pada Rabu (30/5) bertujuan supaya masyarakat dan media dapat mendengarkan secara langsung penjelasan dari pemerintah termasuk pasal tentang korupsi.

Menurutnya, tim Panja tidak ada keinginan untuk memotong kewenangan yang dimiliki oleh KPK terutama dalam UU Tipikor. “Jadi, saya kira tidak ada niat dari siapapun baik dari pemerintah maupun DPR untuk melakukan pelemahan terhadap upaya kita untuk memberantas korupsi. Saya kira tidak ada yang perlu di khawatirkan,” ujar Mulfacri di Gedung DPR, Rabu (30/5).


Menurutnya, RUU ini merupakan payung hukum bagi seluruh delik pidana yang ada di Indonesia. Untuk itu DPR merencanakan akan ada ketentuan dalam aturan peralihan yang mengatur bahwa kewenangan KPK tetap dan ketentuan-ketentuan yang ada tetap menempatkan pidana khusus, merupakan sebuah pidana yang memiliki kekhususan dan bisa diatur sesuai dengan UU yang ada saat ini.

Di sisi lain, Kepala BPKN Kementerian hukum dan HAM sekaligus Ketua Tim Musyawarah KUHP Enny Nurbaningsih menjelaskan, tindak pidana khusus yang dimasukkan dalam KUHP ini pertimbangannya adalah karena terdapat karakteristik khususnya, seperti dampaknya besar atau sering bersifat trans nasional dan terorganisasi.

Selain itu, Pengaturan acara pidanannya juga bersifat khusus, sering menyimpang dari azas umum pidana, adanya lembaga penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan khsus dan didukung oleh konvensi internasional. “Oleh karena itu melihat hal ini yang di maksud dalam tindak pidana khusus ini tidak banyak, hanya lima yakni tindak pidana berat pada HAM, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan narkotika,” jelas Enny.

Enny menambahkan sebetulnya, tidak ada sedikitpun aspek yang melemahkan KPK dalam RUU ini karena panja mengambil tetap dari pasal 2 pasal 3, 5, 11 dari UU Tindak Pidana Korupsi.

Lalu, pada saat perumusan ini, diusulkan untuk ada penyesuaian lamanya pidana. Lamanya pidana menurut UU Tipikor dalam pasal 2 paling singkat dua tahun paling lama 20 tahun dan demikian juga pasal 3.  Sementara di dalam RUU KUHP ini di dalam konsep yang sudah disepakati, pidana waktu tertentu itu paling lama adalah 15 tahun.

“Terkait 20 tahun itu jadi menjadi pemberatan, kecuali kalau kita menentukan alternatif khususnya di situ, apakah pidana seumur hidup sehingga alternatifnya 20 tahun atau pidana mati,” tegas Enny.

Tapi hal tesebut perlu didiskusikan lebih lanjut dan merupakan kesepakatan Panja pemerintah dan DPR apakah konsisten untuk menggunakan konsep yang baru dengan pidana waktu tertentu itu adalah 15 tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi