KPK periksa Hartati usai Lebaran



JAKARTA. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan segera melakukan pemeriksaan terhadap tersangka kasus dugaan suap Siti Hartati Murdaya (SHM). Rencananya pemeriksaan itu akan dilakukan seusai hari raya Lebaran.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan bahwa pemeriksaan terhadap bos Berca Grup itu dilakukan dalam kapasitasnya sebagai tersangka. “SHM rencananya akan diperiksa setelah Lebaran,” ungkap Johan Budi di Gedung KPK, Selasa (14/8).

Kendati demikian, Johan Budi belum dapat memastikan tanggal pemeriksaan terhadap pemilik PT Hardaya Inti Plantation (HIP) dan PT Cakra Cipta Murdaya (CCM) itu. “Untuk tanggalnya belum tahu,” kata Johan.


Selain itu, Johan juga belum dapat memastikan apakah mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat itu akan segera ditahan seusai menjalani pemeriksaan perdana dengan status sebagai tersangka itu.

Untuk diketahui, KPK telah menetapkan Hartati Murdaya sebagai tersangka kasus suap penerbitan Hak Guna Usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah pada 8 Agustus 2012 lalu. Hartati diduga kuat sebagai orang yang melakukan pemberian uang sebesar tiga miliar rupiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu tersangka Bupati Buol, Amran Batalipu. Pemberian tersebut dilakukan sebanyak dua kali, pertama pada tanggal 18 Juni 2012 sebesar satu miliar rupiah dan kedua pada tanggal 26 Juni 2012 sebesar dua miliar rupiah. Hartati Murdaya dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b atau Pasal 13 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dari dua pasal alternatif yang dikenakan ke Hartati itu, yang memuat ancaman hukuman paling berat adalah Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b. Pasal tersebut mengatur soal tindak pidana penyuapan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pasal 5 ayat (1) huruf a mengatur soal setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Ancamannya, pidana penjara paling singkat setahun dan paling lama lima tahun, ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.