KPK: Proyek PLTSa di 12 daerah bakal bebani anggaran pemda dan PLN selama 25 tahun



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kajiannya menjelaskan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang diinisiasi pemerintah di 12 daerah berpotensi membebani anggaran pemerintah daerah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk jangka waktu 25 tahun sejak kontrak diteken.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan bilang pemerintah daerah dibebankan dalam sejumlah tahapan seperti studi kelayakan, pengumpulan sampah, dan tipping fee Biaya Layanan Pengolahan Sampah (BLPS) yang besarannya beragam untuk tiap daerah. "Disebutkan BLPS akan dibantu pemerintah pusat sebesar 49% namun realisasinya tidak jelas," kata Pahala kepada Kontan.co.id, Rabu (4/11).

Merujuk data KPK, untuk DKI Jakarta besaran tipping fee yang harus ditanggung mencapai Rp 470,52 miliar per tahun dengan total pengolahan sampah mencapai 2.200 ton per hari. Sementara itu, Jawa Barat harus menanggung tipping fee mencapai Rp 316,87 miliar per tahun untuk volume sampah mencapai 1.820 ton per hari. Adapun, Pemda Semarang harus menanggung tipping fee sebesar Rp 259,51 miliar untuk 900 ton sampah per hari.


Sejumlah daerah lain juga diharuskan menanggung tipping fee setiap tahun yang besarannya beragam dengan kisaran Rp 130 miliar per hingga Rp 150 miliar dengan volume sampah beragam. "Pemenang tender akan menyediakan dana investasi dan teknologi pembangunan fasilitas pembangkit. Beberapa investor gagal menyelesaikan kontrak antara lain karena tidak dapat menyediakan sumber dana," kata Pahala.

Baca Juga: Menteri ESDM mengakui ketergantungan energi dari impor masih tinggi

Adapun, merujuk hitungan Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) proyek PLTSa ini membutuhkan investasi sekitar US$ 5,4 juta per MW. Proyek yang sejauh ini belum menunjukkan progres berarti, menurut Pahala karena gagalnya implementasi teknologi di lapangan.

Proyek ini juga disinyalir bakal membebani pemda lantaran kontrak yang dianut yakni take or pay, artinya jika Pemda tak mampu mencapai tonase sampah yang diperjanjikan maka investor berhak mendapatkan tipping fee sebanyak volume yang dijanjikan. Adapun, kontrak akan berlaku untuk durasi 25 tahun.

Baca Juga: Bisa alirkan listrik ke 520 pelanggan, PLN operasikan PLTMH kedelapan di NTB

PLN ikut terdampak

Proyek PLTSa ini dinilai KPK bakal ikut membebani PLN akibat harga jual listrik yang dikenakan. Pahala mengungkapkan, harga jual yang dikenakan dari proyek ini mencapai US$ 13,35 sen per kWh. Sementara rerata harga listrik untuk batubara contohnya, besaran harga jual yang dikenakan sebesar US$ 4 sen hingga 5 sen per kWh.

Selain itu, jika listrik yang dihasilkan kurang dari kapasitas, maka berlaku kondisi take or pay, dimana PLN tetap harus membayar tarif dikalikan kapasitas yang dijanjikan. Menurut Pahala, jika proyek ini diteruskan pun target bauran EBT 23% belum akan tercapai. Seluruh proyek PLTSa diprediksi hanya akan menambah kapasitas sekitar 234 MW.

Saat ini, kapasitas terpasang listrik EBT masih sekitar 10.400 MW atau baru 15% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik yang ada di angka 69.000 MW. Pahala menilai, ketimbang dilanjutkan dan membebani pemda serta PLN maka proyek ini sebaiknya dialihkan pada pengembangan cofiring yakni pencampuran sampah yang diolah menjadi pelet untuk dicampur dengan batubara.

Langkah ini dinilai lebih realistis pasalnya kendala dana tidak akan sulit ditemui. Apalagi sejumlah pihak seperti Pemerintah dan PLN telah melakukan penelitian dan ujicoba pada teknologi ini.

Baca Juga: Percepatan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) terus dilakukan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati