JAKARTA. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menolak sejumlah poin dalam rancangan undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP) yang dianggap dapat melemahkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu poin yang dianggap dapat melemahkan pemberantasan korupsi adalah dimasukkannya delik tindak pidana korupsi dalam KUHP.Menurut Ketua KPK Abraham Samad, sifat kejahatan korupsi yang luar biasa akan hilang jika dimasukkan dalam RUU KUHP. Abraham menilai delik korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya, seperti narkotika, dan terorisme sedianya diatur dalam undang-undang khusus, bukan dimasukkan dalam KUHP."Kalau sifat kejahatan luar biasa hilang, maka konsekuensinya, lembaga-lembaga yang punya kompetensi seperti KPK, PPATK, dan BNN tidak relevan lagi atau bisa dikatakan lembaga bubar bila kejahatan luar biasa itu dipaksakan masuk ke buku II," kata Abraham dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/2/2014).Hadir pula dalam jumpa pers tersebut Wakil Ketua KPK Zulkarnain dan Juru Bicara KPK Johan Budi. Senada dengan Abraham, Zulkarnain menyatakan, hal itu merupakan suatu kemunduran. Pasalnya, sebelum ini delik korupsi sengaja dikeluarkan dari KUHP karena dianggap sebagai tindak pidana luar biasa."Dulu bagian tindak pidana korupsi dari KUHP dikeluarkan menjadi tindak pidana khusus, jadi tipikor seperti suap-menyuap dan lain-lain, hukuman diperberat, cakupan diperluas, pembuktian diperkuat, ada pembuktian terbalik dan terbatas. Kalau dikembalikan ke KUHP berarti mundur dari sisi perundangan," tutur Zulkarnain.Apalagi, lanjutnya, saat ini tindak pidana korupsi di Indonesia berkembang masif. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari perkara-perkara yang ditangani KPK dengan modus yang semakin canggih dan nekat."Lalu, apa mungkin ditangani secara biasa? Lantas ukuran lain adalah IPK (indeks persepsi korupsi) kita komponen yang dipakai cukup canggih, masih 32 dari 100, masih di bawah rata-rata dunia yang 43, kemudian juga yang KPK lakukan tiap tahun survei integritas nasional dan daerah masih banyak yang di bawah kewajaran, di bawah 6," ucap Zulkarnain.Selain soal delik korupsi, KPK mengkritisi aturan dalam RUU KUHP yang menyebutkan bahwa suap atau gratifikasi tidak masuk dalam delik korupsi melainkan kejahatan yang berhubungan dengan jabatan."Oleh karena itu kalau penyelenggara negara terima suap, tidak bisa disidik KPK. Kalau kejahatan suap-menyuap dimasukkan dalam delik tindak pidana jabatan, tidak masuk lagi delik-delik korupsi," ucap Abraham.KPK juga menemukan sejumlah poin yang berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Poin pertama, berkaitan dengan peniadaan tahap penyelidikan sehingga kewenangan KPK melakukan penyadapan dalam tahap penyelidikan kemungkinan akan ikut hilang.Poin berikutnya, lanjut Abraham, wacana aturan mengenai penyadapan yang harus mendapatkan izin dari hakim pendahuluan, serta aturan yang menyebutkan putusan bebas murni tidak bisa digugat melalui upaya hukum selanjutnya.Zulkarnain juga mengatakan, banyak aturan dalam RUU KUHAP yang sulit diimplementasikan, termasuk aturan mengenai batas maksimal penahanan yang hanya lima hari sebelum berkas perkara dilimpahkan ke tahap penuntutan."Enak sekali lima hari, kalau libur tiga hari, tinggal dua hari, buat surat penangkapannya habis ke pengadilan, itu tidak aplikatif. Kalau ditanya di ujung Indonesia, sanggup tidak penyidik bisa melakukan tugas yang diberikan? Kalau tidak sanggup akan mengakibatkan tindak pidana dibiarkan terjadi. Jangan enak di atas kerja kalau diimplementasikan mustahil. Makanya bikin undang-undang harus ada pengkajian, harus dilihat kelemahan KUHAP yang lalu," kata Zulkarnain.Atas dasar itulah, KPK mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pimpinan DPR, dan ketua panitia kerja pembahasan RUU KUHP/KUHAP di DPR. Surat tersebut berisi permintaan agar pembahasan dua RUU ini di DPR dihentikan. (Icha Rastika)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
KPK: RUU KUHP disahkan, KPK terancam bubar
JAKARTA. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menolak sejumlah poin dalam rancangan undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP) yang dianggap dapat melemahkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu poin yang dianggap dapat melemahkan pemberantasan korupsi adalah dimasukkannya delik tindak pidana korupsi dalam KUHP.Menurut Ketua KPK Abraham Samad, sifat kejahatan korupsi yang luar biasa akan hilang jika dimasukkan dalam RUU KUHP. Abraham menilai delik korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya, seperti narkotika, dan terorisme sedianya diatur dalam undang-undang khusus, bukan dimasukkan dalam KUHP."Kalau sifat kejahatan luar biasa hilang, maka konsekuensinya, lembaga-lembaga yang punya kompetensi seperti KPK, PPATK, dan BNN tidak relevan lagi atau bisa dikatakan lembaga bubar bila kejahatan luar biasa itu dipaksakan masuk ke buku II," kata Abraham dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/2/2014).Hadir pula dalam jumpa pers tersebut Wakil Ketua KPK Zulkarnain dan Juru Bicara KPK Johan Budi. Senada dengan Abraham, Zulkarnain menyatakan, hal itu merupakan suatu kemunduran. Pasalnya, sebelum ini delik korupsi sengaja dikeluarkan dari KUHP karena dianggap sebagai tindak pidana luar biasa."Dulu bagian tindak pidana korupsi dari KUHP dikeluarkan menjadi tindak pidana khusus, jadi tipikor seperti suap-menyuap dan lain-lain, hukuman diperberat, cakupan diperluas, pembuktian diperkuat, ada pembuktian terbalik dan terbatas. Kalau dikembalikan ke KUHP berarti mundur dari sisi perundangan," tutur Zulkarnain.Apalagi, lanjutnya, saat ini tindak pidana korupsi di Indonesia berkembang masif. Hal itu, katanya, bisa dilihat dari perkara-perkara yang ditangani KPK dengan modus yang semakin canggih dan nekat."Lalu, apa mungkin ditangani secara biasa? Lantas ukuran lain adalah IPK (indeks persepsi korupsi) kita komponen yang dipakai cukup canggih, masih 32 dari 100, masih di bawah rata-rata dunia yang 43, kemudian juga yang KPK lakukan tiap tahun survei integritas nasional dan daerah masih banyak yang di bawah kewajaran, di bawah 6," ucap Zulkarnain.Selain soal delik korupsi, KPK mengkritisi aturan dalam RUU KUHP yang menyebutkan bahwa suap atau gratifikasi tidak masuk dalam delik korupsi melainkan kejahatan yang berhubungan dengan jabatan."Oleh karena itu kalau penyelenggara negara terima suap, tidak bisa disidik KPK. Kalau kejahatan suap-menyuap dimasukkan dalam delik tindak pidana jabatan, tidak masuk lagi delik-delik korupsi," ucap Abraham.KPK juga menemukan sejumlah poin yang berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Poin pertama, berkaitan dengan peniadaan tahap penyelidikan sehingga kewenangan KPK melakukan penyadapan dalam tahap penyelidikan kemungkinan akan ikut hilang.Poin berikutnya, lanjut Abraham, wacana aturan mengenai penyadapan yang harus mendapatkan izin dari hakim pendahuluan, serta aturan yang menyebutkan putusan bebas murni tidak bisa digugat melalui upaya hukum selanjutnya.Zulkarnain juga mengatakan, banyak aturan dalam RUU KUHAP yang sulit diimplementasikan, termasuk aturan mengenai batas maksimal penahanan yang hanya lima hari sebelum berkas perkara dilimpahkan ke tahap penuntutan."Enak sekali lima hari, kalau libur tiga hari, tinggal dua hari, buat surat penangkapannya habis ke pengadilan, itu tidak aplikatif. Kalau ditanya di ujung Indonesia, sanggup tidak penyidik bisa melakukan tugas yang diberikan? Kalau tidak sanggup akan mengakibatkan tindak pidana dibiarkan terjadi. Jangan enak di atas kerja kalau diimplementasikan mustahil. Makanya bikin undang-undang harus ada pengkajian, harus dilihat kelemahan KUHAP yang lalu," kata Zulkarnain.Atas dasar itulah, KPK mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pimpinan DPR, dan ketua panitia kerja pembahasan RUU KUHP/KUHAP di DPR. Surat tersebut berisi permintaan agar pembahasan dua RUU ini di DPR dihentikan. (Icha Rastika)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News