JAKARTA. Mahkamah Konstitusi mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan dengan menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan. Pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi Indriyanto Seno Adji mengatakan, perluasan obyek praperadilan dengan masuknya poin penetapan tersangka tidak membuat KPK khawatir akan "kebanjiran" gugatan. "KPK menghormati apa pun putusan MK dan tidak mengkhawatirkan putusan yang memberikan perluasan obyek praperadilan, seperti efek Sarpin," ujar Indriyanto melalui pesan singkat, Rabu (29/4). Indriyanto mengatakan, kebebasan hakim atas kasus-kasus praperadilan yang berbasis prinsip legalitas masih membatasi eksistensi Pasal 77 KUHAP. Menurut dia, bahkan sejak sebelum hakim Sarpin Rizaldi menyatakan bahwa penetapan Komjen Budi Gunawan oleh KPK tidak sah, KPK sudah terbiasa menghadapi gugatan praperadilan.
"KPK sejak sebelum adanya efek Sarpin tetap selalu siap menghadapi gugatan-gugatan serupa. Jadi, bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan berlebihan," kata Indriyanto. Selama ini, KPK menghadapi gugatan praperadilan secara profesional. Ia menganggap wajar jika tersangka mengajukan gugatan praperadilan dan KPK selalu siap menghadapinya. "Gugatan-gugatan apa pun bukan sebagai drama hukum, tetapi sesuatu kewajaran yang akan KPK hadapi secara profesional," kata dia. Senada dengan Indriyanto, pimpinan sementara KPK Johan Budi pun menyatakan bahwa KPK siap menghadapi gelombang praperadilan setelah obyek praperadilan mengalami perluasan. "Mau tidak mau KPK harus siap menghadapi praperadilan," kata Johan. Kesiapan tersebut salah satunya dengan menambah sumber daya di Biro Hukum yang masih terbatas, yakni 11 personel. Tim hukum ini akan berhadapan dengan gugatan-gugatan praperadilan di pengadilan negeri. "Rencananya, iya (menambah personel), melihat kebutuhan ke depan. Tapi, belum bisa diprediksi, saat ini jauh dari ideal," ujar Johan. Putusan MK Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bioremediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Mahkamah menyatakan, pasal yang dimohonkan Bachiar, yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 karena mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil. "Alasannya bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia," kata hakim konsitusi Anwar Usman, membacakan putusan dalam persidangan.
"Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Namun, pada masa sekarang, bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah 'penetapan tersangka oleh penyidik' yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian label atau status tersangka kepada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas," kata Anwar. Selain itu, Mahkamah juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menabahkan frasa "minimal dua alat bukti" dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Sebelumnya, dalam pasal-pasal itu tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan. Pasal 1 angka 14 KUHAP, misalnya, lanjut Anwar, menyebutkan penetapan tersangka hanya didasarkan pada bukti permulaan tanpa disebutkan jumlah alat bukti. Bachtiar Abdul Fatah divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta pada Oktober 2013. Bachtiar dinyatakan bersalah dalam proyek normalisasi lahan tercemar minyak atau bioremediasi di Riau pada kurun 2006-2011. Bachtiar sebelumnya sudah dibebaskan berdasarkan putusan praperadilan. Namun, dia ditahan kembali sejak 17 Mei 2013. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia