KPK Tidak Bisa Ambil Alih Putusan Kejagung yang Berkekuatan Hukum Tetap



JAKARTA. Lantaran merasa masih kekurangan bukti dalam mengungkap berlarutnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengundang beberapa pihak terkait.  Antara lain Kejaksaan Agung (Kejagung) yang diwakili Direktur Penyidikan Khusus Muhammad Farela, Departemen Keuangan (Depkeu) yang diwakili Dirjen Kekayaan Negara Hadianto, dari pihak Bank Indonesia, serta para mantan direktur Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) seperti Glenn Yusuf, Ary Suta dan Syafruddin Tumenggung untuk melakukan ekspose di gedung KPK, Jakarta (19/11), dari jam 13.00 WIB sampai pukul 16.30 WIB.  "Hari ini kita meminta bahan-bahan kajian yang pada ekspose sebelumnya masih kurang. Selanjutnya bahan-bahan ini akan kita dalami," ujar Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Chandra Hamzah dalam keterangan pers-nya.  Selanjutnya, menurut Chandra, KPK akan melakukan pertemuan-pertemuan secara terpisah dengan Kejagung, BI, Depkeu untuk menindaklanjuti keterangan dalam ekspose tersebut.  Lebih lanjut, Chandra menjelaskan bahwa untuk pengkajian kasus BLBI, KPK membentuk beberapa kelompok. Kelompok pertama menangani kasus BLBI yang sudah berkekuatan hukum tetap berdasar proses yang dilajukan oleh Kejagung.  "Untuk kasus ini, KPK hanya melakukan supervisi saja. Seperti, sejauh mana amar putusan sudah dilakukan oleh pihak Kejaksaan Agung," lanjut Chandra.  Chandra menegaskan bahwa KPK tidak bisa mengambil alih kasus BLBI yang sudah berketetapan hukum tetap tersebut.  "Lumayan di sana ada beberapa triliun uang negara yang bisa diselamatkan. Misal dalam kasus David Nusa Wijaya ada Rp 1,2 triliun uang pengganti. Nah, bagaimana recovery uang pengganti ini yang kita supervisi," ujar Chandra.    Supervisi yang dilakukan mencakup antara lain masalah pidana penjara maupun pidana denda dan uang pengganti. Kemudian apakah uang penggantinya sudah disetorkan ke kas negara atau belum. Atau masih dalam proses lelang terhadap barang-barang yang akan menjadi uang pengganti.  Kelompok kedua menyoroti masalah surat keterangan lunas (SKL) kepada para bank penerima BLBI. Sebagaimana yang diketahui, SKL diberikan kepada pihak-pihak yang menandatangani perjanjian MSA dan MRAA.  Kelompok kedua ini akan memfokuskan diri pada sejauh mana pihak-pihak yang terlibat dalam proses tersebut telah mematuhi perjanjian-perjanjian tersebut. Serta, memeriksa apakah betul pemenuhan kewajiban itu sudah dilaksanakan.  Kemudian kelompok ketiga, keempat dan kelima akan menyoroti kasus-kasus BLBI yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan, baik langsung ke Departemen Keuangan maupun kasus yang diserahkan ke Mabes Polri dulu baru ke Departemen Keuangan.  "Ada sekitar 24 bank yang sudah diserahkan ke Departemen Keuangan. Dan kemudian oleh Departemen Keuangan dilanjutkan ke pemrosesan oleh BPPN. Nah, dalam kasus itu KPK ingin melihat perkembangan prosesnya sejauh mana," kata Chandra.  Hal itu dimaksudkan, agar dana BLBI yang diterima bank-bank swasta tersebut bisa dibagi-bagi mana yang sudah selesai dan mana yang belum."Kita harapkan proses ini berlanjut terus sehingga ada kepastian hukum bagi semua pihak," tandas Chandra.Chandra yang didampingi Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M. Jasin juga bilang bahwa untuk data SKL, pihaknya sudah mendapatkan data dari beberapa obligor BLBI. Sebelumnya dalam ekspose terdahulu KPK baru menerima data satu obligor saja.  Sementara untuk data obligor lainnya KPK masih menunggu dari pihak Kejaksaan Agung. Walaupun begitu, KPK berniat melakukan cek silang dengan data dari Dirjen Kekayaan Negara.    "Di pihak kejaksaan memang ada beberapa kendala administrasi, akan tetapi sebagaimana diungkapkan oleh Dir Pidsus, pihak Kejaksaan Agung sedang berusaha untuk mendapatkan berkasnya untuk disampaikan kepada KPK," kilah Chandra.   Sementara itu, M. Jasin menyampaikan bahwa dalam pertemuan tersebut, pihaknya juga membicarakan masalah obligasi rekap. Jika dana yang digelontorkan untuk BLBI adalah sekitar Rp 600 triliun.  Sedang yang diselesaikan di jalur hukum baru Rp 144 triliun saja.  "Sementara dana yang Rp 460 triliun belum pernah disinggung selama ini," ujar Jasin.  Karena dalam pertemuan tersebut pihak BI belum siap memberikan keterangan, maka KPK menjadwalkan pertemuan dengan pihak BI minggu depan. "Atau sesiapnya BI," tegas Jasin.   Ketua KPK Antasari Ashar yang dicegat wartawan ketika keluar dari gedung KPK membenarkan bahwa pihaknya tidak bisa mengambil alih kasus BLBI yang sudah berkekuatan tetap. "KPK masih bisa melakukan supervisi terhadap uang gantirugi. Berapa yang bisa masuk ke kas negara," ujarnya.  Penanganan KPK tersebut, lanjut Antasari, termasuk masalah SKL, masalah 24 bank yang diserahkan ke Depkeu. "Semua akan kita lihat dan kita rangkum. Jadi penanganan BLBI yang sektor bank swasta, berapa dulu BI kucurkan, berapa yang bisa dikembalikan, itu nanti akan kita peroleh rekapnya. Itu yang kita inginkan," ujar Antasari.  Namun Antasari mengaku bahwa pihaknya belum bisa berbicara lebih lanjut mengenai rangkuman tersebut. "Kita harapkan minggu depan sudah ada laporan dari empat tim kita supaya bisa kita beberkan ke publik," terang Antasari. Lebih lanjut, Antasari bilang, khusus untuk BI, dalam penyaluran dana BLBI ke bank-bank swasta, KPK meminta penjelasan tentang rekap obligasi yang diberikan ke bank-bank pemerintah saat itu sebelum merger. Ditengarai, jumlah BLBI yang diberikan ke bank-bank pemerintah lebih besar dari yang diberikan ke bank-bank swasta sebesar Rp 144 triliun."Yang dicari KPK adalah bahwa APBN yang sampai hari ini masih terbebani oleh utang BLBI, bisa ditekan agar rakyat tidak terlalu terbebani," pungkasnya.   
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: