KPK warning ESDM terkait renegosiasi kontrak karya



JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melayangkan surat peringatan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk segera menindaklanjuti renegosiasi kontrak tarif royalti untuk semua kontrak karya (KK) dan perjanjian pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).

Permintaan itu disampaikan oleh Juru Bicara KPK Johan Budi SP dalam rilis yang diterima KONTAN, Senin (3/3). Menurut Johan, permintaan dari KPK itu cukup beralasan, sebab KPK sudah melakukan kajian soal Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batubara (minerba).

Bahkan, hasil kajian dari KPK tersebut sudah dipaparkan kepada Kementerian ESDM dan pihak terkait pada Agustus 2013. "Salah satu temuan, adanya celah terjadinya kerugian negara disebabkan tidak terpungutnya dengan optimal royalti 37 KK dan 74 PKP2B," terangnya.


Ia bilang, salah satu temuannya tentang jenis tarif PNBP yang berlaku terhadap mineral dan batubara yang berlaku pada KK lebih rendah dibandingkan tarif yang berlaku pada IUP mineral. Dari temuan ini,  Kementerian ESDM menyepakati akan melakukan renegosiasi tentang tarif royalti pada semua KK dan PKP2B disesuaikan dengan PP Tarif dan jenis tarif PNBP yang berlaku, serta menetapkan sanksi bagi KK dan PKP2B yang tidak kooperatif dalam proses renegosiasi.

Terkait hal ini, KPK telah mengirimkan surat bernomor B-402/01-15/02/2014 yang ditujukan kepada Menteri ESDM. Surat tersebut ditembuskan kepada presiden, dikirim pada 21 Februari 2014, agar pihak terkait segera menindaklanjuti.

Proses renegosasi mencakup aspek luas wilayah pertambangan, penggunaan tenaga kerja dalam negeri, divestasi serta kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri. "KPK melihat proses renegosiasi kontrak ini berlarut-larut," tambahnya.

Padahal, dalam pasal 169 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah dinyatakan dengan tegas bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU No. 4 Tahun 2009 diundangkan. Artinya, renegosiasi kontrak semestinya sudah selesai tanggal 12 Januari 2010.

Dengan berlarut-larutnya proses renegosiasi, berdampak tidak terpungutnya penerimaan negara, dan ini tentu saja merugikan keuangan negara. KPK memperkirakan, selisih penerimaan negara dari satu perusahaan besar (KK) saja sebesar US$ 169,06 juta per tahun.

Misalnya, PT. FI sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang menikmati tarif royalti emas sebesar 1% dari harga jual per kg. Padahal, di dalam peraturan pemerintah yang berlaku, tarif royalti emas sudah meningkat menjadi 3,75% dari harga jual emas per kg.

Dengan berlarut-larutnya penyesuaian kontrak oleh PT FI, terjadi kerugian keuangan negara sebesar 169 juta dolar AS setiap tahun dari yang semestinya menerima 330 juta dolar AS. Kenyataannya, negara hanya menerima US$ 161 juta.

Hal serupa juga terjadi pada PT VI yang tidak menyesuaikan tarif royaltinya. Akibatnya, negara mengalami kerugian pendapatan royalti sebesar US% 65,838 juta per tahunnya. Pemerintah yang semestinya menerima US$ 72 juta dari royalti setiap tahun, hanya menerima 1/12 dari yang seharusnya sebesar US$ 6,162 juta.

Lebih jauh lagi, hasil kajian KPK juga menemukan adanya kerugian keuangan negara dari hasil audit tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), yaitu sebesar Rp 6,7 triliun (2003-2011) akibat kurang bayar royalti, dan potensi kerugian keuangan negara dari 198 perusahaan pertambangan batubara sebesar US$ 1,224 miliar (2010-2012) dan dari 180 perusahaan pertambangan mineral sebesar US$ 24,661 juta (2011).

KPK menyayangkan, tidak ada sanksi yang tegas bagi pemegang kontrak yang enggan melakukan renegosiasi dan penyesuaian tarif royalti. Sebagai upaya di bidang pencegahan, KPK mengingatkan pemerintah agar mengambil langkah tegas termasuk pemberian sanksi. Karena pembiaran proses renegosiasi kontrak ini, berujung pada kerugian keuangan negara.

Sampai berita ini diturunkan, KONTAN belum mendapatkan konfirmasi dari pihak ESDM.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri