JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai mengarahkan radar ke sektor perbankan. Wasit antimonopoli ini mengendus terjadi praktik kartel di industri yang merupakan urat nadi perekonomian tersebut.Kecurigaan ini berpangkal pada tingginya suku bunga kredit. KPPU menduga, ada yang tidak beres dalam penetapan bunga kredit sehingga menimbulkan inefisiensi di sektor lain. "Eksesnya barang produksi tidak kompetitif dan masyarakat yang menanggung," ujar Ketua KPPU Nawir Messi, Selasa (9/3).Untuk menguji dugaan tersebut, KPPU membentuk tim penyelidikan. Proses ini berlangsung tiga bulan ke depan. Jika ada indikasi terjadi praktik tidak sehat, KPPU akan menindaklanjuti temuan itu. Dalam menggelar penyelidikan, KPPU akan menggunakan tiga indikator inefisiensi. Pertama, net interest margin (NIM). KPPU menilai NIM perbankan yang sebesar 5,7%-6% sangat tinggi. NIM perbankan Indonesia dua kali lipat dibanding negara ASEAN lain, kecuali Filipina. Kedua, Biaya Operasional berbanding Pendapatan Operasional (BOPO). Menurut KPPU, BOPO rata-rata sebesar 80% terlalu tinggi. Artinya, hampir semua pendapatan operasional habis untuk biaya operasional. Praktik di negara lain rasio ini hanya 50%.Ketiga, tingginya bunga kredit perbankan. Tidak adanya transparansi struktur biaya, premi risiko serta ekspektasi inflasi berperan dalam tingginya suku bunga.Pengamat perbankan Paul Sutar-yono mengatakan, rencana KPPU sudah tepat. Tapi, timing-nya salah. Pasalnya, BI sudah mengatur perbankan agar bunga kredit lebih transparan. Artinya, tinggal menunggu regulasi itu berjalan. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengatakan, pasar akan menghukum bank yang tidak efisien. "KPPU boleh melakukan pemeriksaan jika ada bank yang mengatur bunga kredit. Saat ini persaingan sangat tinggi," ujarnya.Jika ingin bunga layu, seharusnya bunga penjaminan yang diturunkan, karena bank banyak mengeluarkan biaya demi mencari dana. "Apa yang dilakukan KPPU ini tindakan mengada-ada saja," ujar Sigit.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
KPPU akan menyelediki penyebab inefisiensi di industri perbankan
JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mulai mengarahkan radar ke sektor perbankan. Wasit antimonopoli ini mengendus terjadi praktik kartel di industri yang merupakan urat nadi perekonomian tersebut.Kecurigaan ini berpangkal pada tingginya suku bunga kredit. KPPU menduga, ada yang tidak beres dalam penetapan bunga kredit sehingga menimbulkan inefisiensi di sektor lain. "Eksesnya barang produksi tidak kompetitif dan masyarakat yang menanggung," ujar Ketua KPPU Nawir Messi, Selasa (9/3).Untuk menguji dugaan tersebut, KPPU membentuk tim penyelidikan. Proses ini berlangsung tiga bulan ke depan. Jika ada indikasi terjadi praktik tidak sehat, KPPU akan menindaklanjuti temuan itu. Dalam menggelar penyelidikan, KPPU akan menggunakan tiga indikator inefisiensi. Pertama, net interest margin (NIM). KPPU menilai NIM perbankan yang sebesar 5,7%-6% sangat tinggi. NIM perbankan Indonesia dua kali lipat dibanding negara ASEAN lain, kecuali Filipina. Kedua, Biaya Operasional berbanding Pendapatan Operasional (BOPO). Menurut KPPU, BOPO rata-rata sebesar 80% terlalu tinggi. Artinya, hampir semua pendapatan operasional habis untuk biaya operasional. Praktik di negara lain rasio ini hanya 50%.Ketiga, tingginya bunga kredit perbankan. Tidak adanya transparansi struktur biaya, premi risiko serta ekspektasi inflasi berperan dalam tingginya suku bunga.Pengamat perbankan Paul Sutar-yono mengatakan, rencana KPPU sudah tepat. Tapi, timing-nya salah. Pasalnya, BI sudah mengatur perbankan agar bunga kredit lebih transparan. Artinya, tinggal menunggu regulasi itu berjalan. Sigit Pramono, Ketua Umum Perbanas, mengatakan, pasar akan menghukum bank yang tidak efisien. "KPPU boleh melakukan pemeriksaan jika ada bank yang mengatur bunga kredit. Saat ini persaingan sangat tinggi," ujarnya.Jika ingin bunga layu, seharusnya bunga penjaminan yang diturunkan, karena bank banyak mengeluarkan biaya demi mencari dana. "Apa yang dilakukan KPPU ini tindakan mengada-ada saja," ujar Sigit.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News