KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) meragukan implementasi program pelepasan kawasan hutan produksi untuk perkebunan sawit dimana pemerintah mengatur pembagian 80% digunakan oleh perusahaan 20% untuk masyarakat. KPPU melihat ada indikasi ketidakjelasan pelaksanaan kewajiban 20% bermitra dengan UMKM atau masyarakat. Terutama pemerintah sebagai pemberi izin hingga saat ini belum memiliki data anggota plasma (kemitraan) dalam 20% pembagian kebun. "Kalau pemerintah tidak punya data itu cukup aneh, berani memberikan izin tanpa data siapa anggota plasma. Ketika ada list tersebut, bisa lihat bener riil atau itu bodong, diada-adakan atau bahkan tidak ada," jelas Guntur S. Saragih, Komisioner KPPU saat diskusi terkait tinjauan regulasi dan praktek kemitraan sektor perkebunan kelapa sawit di Kantor KPPU, Selasa (23/4).
Menurutnya, KPPU menjalankan fungsi mengawasi kemitraan, Dalam diskusi tersebut juga dipaparkan dua beleid dasar yakni Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.17/2013 tentang tata cara pelepasan hutan produksi yang bisa dikonversi dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nomor 7/2017 tentang pengaturan dan tata cara penetapan hak guna usaha. Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyo juga mengonfirmasi bahwa pihaknya tidak memiliki data anggota petani plasma. Untuk itu KPPU akan melayangkan surat permohonan resmi kepada pemerintah untuk meminta data anggota plasma. Apabila pemerintah benar-benar tidak memiliki data tersebut, KPPU menduga ada mal administrasi. "Kenapa bisa diberikan kalau tidak ada data 20% plasma?," ujar Guntur. Hingga saat ini, KPPU mengaku sedang dalam proses penyelidikan kasus terkait alokasi 20% kebun sawit plasma. Kendati begitu, Guntur belum mau menjelaskan kasus apa saja yang sedang ditangani. Dia hanya menjelaskan penyelidikan sedang dilakukan per kasus. "Kami tidak bisa sampaikan (perusahaannya)," jelas dia. Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Jambi Sarwadi setuju dengan langkah KPPU. Sebagai petani sawit, dia berharap pelaksanaan 20% untuk masyarakat benar-benar dilaksanakan. "Penting bagi kami 20% kemitraan, berikan ke rakyat," ujar dia. Dalam kesempatan tersebut, Ahli Konstitusi Agraria Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan juga menjelaskan banyak praktek di lapangan yang menunjukkan dominasi perusahaan pada 20% kemitraan. Antara lain satu manajemen dengan perusahaan dengan menggunakan istilah tertentu hingga penentuan harga.