JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan pengawasan pada komoditas pangan beras. Di bawah koordinasi Kapolri, KPPU beserta Kementerian Pertanian, dan Kementerian Perdagangan menggelar sidak di Karawang Jumat dini hari tadi (21/7). Ketua KPPU, Syarkawi Rauf menjelaskan, sidak ini merupakan bagian dari upaya menghindarkan eksploitasi konsumen oleh kekuatan pasar yang menguasai jejaring distribusi beras di Indonesia. "KPPU dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang dipimpin Polri berkomitmen penuh mengawal amanah bapak Presiden Joko Widodo untuk menjaga stabilitas harga pangan" ungkap Syarkawi dalam rilis yang diterima KONTAN (21/7).
Terkait industri beras, KPPU telah melakukan melakukan pemetaan jejaring distribusi, pemetaan titik simpul distribusi di mana terdapat potensi persaingan usaha tidak sehat terjadi serta telah mengidentifikasi pelaku-pelaku usaha yang menjadi penguasanya. Struktur industri beras cenderung kompetitif di tingkat petani dan pengecer, tetapi cenderung oligopoli di pusat-pusat distribusi (
midlemen). Perlindungan petani telah dilakukan pemerintah, melalui penetapan harga dasar pembelian gabah dan harga eceran tertinggi beras. Tetapi di hilir diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga penguasa jejaring distribusi leluasa mengeksploitasi konsumen melalui kenaikan harga. Disparitas harga memberikan gambaran tersebut. Harga dasar gabah petani untuk kering panen sekitar Rp. 3.700/kg dan gabah kering giling Rp, 4.600/kg. Sementara Harga pembelian beras petani ditetapkan Rp 7.300/Kg. Harga pasar riil saat ini berada di kisaran Rp 10.500/Kg. Meskipun ada sejumlah pelaku usaha yang menjual pada harga lebih tinggi. Biaya produksi petani diperkirakan Rp 3.150/Kg. Dengan perkiraan produksi gabah 79,6 juta ton atau 46,5 juta ton beras, dan dengan mempertimbangkan harga-harga sebelumnya, marjin (keuntungan) yang dinikmati petani (56 juta orang) Rp 65,7 triliun. Bandingkan dengan marjin keuntungan perantara petani dengan konsumen (
middle men) yang mencapai Rp 186 triliun. Keuntungan ini dinikmati oleh jumlah pelaku usaha yang lebih kecil.
“Tingginya disparitas harga ini yang menjadi masalah, karena ada pedagang perantara yang mendapat keuntungan lebih besar dan membuat harga beras di tingkat pengecer juga tinggi, sementara itu ironisnya petani justru tidak dapat memperoleh peningkatan kesejahteraan” jelas Syarkawi. Oleh karena itu, salah satu upaya yang akan kita lakukan ke depan adalah mengurangi margin keuntungan di middle men (rantai pasok). Margin tersebut kita geser ke petani sehingga harga pembelian beras petani bisa mencapai sekitar Rp. 7.500 - Rp. 8.000,-/kg dan Kami pun mendukung langkah pemerintah menerbitkan kebijakan penetapan harga tertinggi beras di tingkat konsumen akhir se besar Rp. 9.000/kg. Pengaturan ini HET tertuang Dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 47/M-DAG/PER/7/2017. "Kebijakan penetapan harga acuan pembelian dan penjualan beras di hulu dan hilir ini dapat dijadikan mekanisne kontrol pemerintah untuk mengurangi disparitas harga di sisi petani, pelaku usaha dalam jejaring distribusi beras, dan konsumen" pungkas Syarkawi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia