KPPU ungkap potensi pelanggaran persaingan usaha e-commerce



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyebut, terdapat potensi pelanggaran persaingan usaha dalam ekosistem e-commerce selain predatory pricing yang dapat disalahgunakan dan berpotensi melanggar UU persaingan usaha.

"Tidak hanya predatory pricing, hal-hal lain mungkin bisa seperti integrasi vertikal, penguasaan posisi dominan, itu kan semua berpotensi disalahgunakan dalam praktek persaingan usaha tidak sehat seperti yang diatur dalam UU 5/1999," kata Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Taufik Ahmad, Kamis (18/3).

Taufik mengatakan, penanganan perkara di bidang e-commerce terbilang kompleks karena melibatkan lintas sektor. Bahkan bisa juga lintas negara. Sebab itu, pendekatan-pendekatan analisis persaingan usaha e-commerce juga terbilang kompleks.


KPPU mendorong jika terdapat dugaan pelanggaran persaingan usaha untuk segera melaporkan dengan bukti yang mendukung. "Kalau ada peristiwa itu, silahkan dilaporkan ke KPPU dan kita didukung alat-alat bukti yang ada, kita lihat dulu pasarnya apa. Kemudian pelaku usahanya kita identifikasi, wilayah geografisnya. Nanti akan dilakukan sejumlah pemeriksaan untuk mengumpulkan alat-alat bukti yang mendukung bahwa perilaku itu terjadi," jelas Taufik.

Baca Juga: Harbolnas hingga Program Ekspor e-Commerce bantu UMKM tembus pasar ekspor

Komisioner KPPU Guntur S Saragih mengatakan, saat ini belum ditemukan adanya indikasi atau dugaan pelanggaran persaingan usaha di sektor e-commerce. "Sampai saat ini masih belum masuk dalam tahap penegakan hukum di KPPU. Potensi pelanggaran persaingan usaha tidak hanya predatory pricing, tentunya KPPU akan melakukan penegakan hukum jika ditemukan dugaan pelanggaran persaingan usaha termasuk dalam e-commerce," kata Guntur.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memberikan penjelasan mengenai pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengajak masyarakat untuk membenci produk luar negeri. Hal ini disebabkan oleh berbagai kejadian perdagangan yang tidak adil terhadap pelaku  usaha khususnya UMKM Indonesia.

"Perlu saya luruskan di sini bahwa sebenarnya ada background yang menyertai pernyataan presiden, yaitu laporan saya kepada beliau tentang adanya praktik-praktik yang tidak sesuai dengan aturan perdagangan," ujar Lutfi.

Baca Juga: Pacu bisnis, fintech lending ramai-ramai jalin kemitraan

Menurut Lutfi, praktik-praktik ilegal perdagangan tersebut dijalankan oleh perusahaan-perusahaan e-commerce yang sudah mendunia. Salah satu praktik tersebut yakni predatory pricing, dimana langkah ini membunuh kompetisi di pasar.

Lutfi menyebut, Jokowi membenci praktik-praktik tersebut karena tidak memuaskan, sehingga menyebabkan Indonesia kehilangan UMKM yang sebenarnya memiliki prospek baik. Lutfi pun membeberkan tulisan dari lembaga internasional yang dilaporkannya kepada Jokowi terkait hancurnya kegiatan UMKM, terutama produksi fesyen islam di Indonesia.

Dari tulisan tersebut, disebutkan bahwa pada 2016-2018 sebuah industri rumah tangga yang memproduksi jilbab dan mempekerjakan lebih dari 3.400 tenaga kerja tidak bisa bersaing dengan produk asing lantaran harga yang ditawarkan jauh berbeda. Dia menyebut, industri yang maju ini tersadap oleh artificial intelligence perusahaan digital asing, dimana informasi tersebut diserap kemudian produk jilbab tersebut diproduksi di China.

Baca Juga: Browser internet milik Alibaba dihapus dari toko aplikasi Android China

"Kemudian diimpor barangnya ke Indonesia, mereka membayar US$ 44.000 sebagai bea masuk, tetapi menghancurkan industri UMKM tersebut," jelas Lutfi.

Setelah barang tersebut masuk ke Indonesia, jilbab tersebut hanya dihargai Rp 1.900 per helai melalui platform e-commerce. Menurut Lutfi, inilah yang disebut dengan predatory pricing. Menurutnya, karena hal ini UMKM Indonesia tidak bisa bersaing atas hal ini.

"Inilah yang menyebabkan kebencian dari produk asing yang diutarakan presiden karena kejadian-kejadian perdagangan yang tidak adil, tidak untungkan, dan tidak bermanfaat," ujar Lutfi.

Baca Juga: Kemendag masih inventarisir masalah dalam mengatur predatory pricing e-commerce

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati