JAKARTA. Di tengah kondisi harga baja dunia yang terus menurun, depresiasi rupiah, dan melemahnya pasar domestik tidak membuat PT Krakatau Steel Tbk tidak patah semangat. Perseroan optimistis, proyek-proyek pembangunan infrastruktur senilai Rp 290 triliun akan dapat memperkuat kinerja di masa mendatang. Direktur Utama Krakatau Steel Sukandar mengatakan, dari proyek infrastruktur senilai Rp 290 triliun, sebanyak 15% atau setara Rp 43,5 triliun di antaranya berupa komponen besi dan baja. Dia menilai, industri baja dalam negeri saat ini mampu memenuhi kebutuhan baja nasional. “Pembangunan proyek transmisi 35 ribu megawatt merupakan ujung tombak bangkitnya industri baja nasional, karena membutuhkan sekitar 2 juta ton baja dalam empat tahun mendatang,” kata Sukandar, Selasa (1/9).
Sukandar menjelaskan, bahwa kebutuhan baja dalam berbagai proyek Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencapai 14,3 juta ton. Poros Maritim dan Tol Laut nilai proyeknya mencapai Rp 700 triliun, Koridor penyeberangan komplementer tol laut mencapai Rp 40 triliun dan pembangkit listrik mencapai Rp 1.127 triliun. Sementara itu, sebanyak 78% konsumsi baja nasional diserap oleh sektor konstruksi yang 40%-nya untuk infrastruktur. Sektor transportasi menyerap 8% konsumsi baja, sektor minyak dan gas bumi 7%, permesinan 4%, dan 3% lainnya diserap untuk kebutuhan lain-lain. Industri baja penting dikembangkan karena potensi kebutuhan baja yang besar. Sebagai gambaran, di Indonesia saat ini ada sekitar 93.000 jembatan dengan total panjang 1.138 kilometer. Rinciannya, sekitar 72.000 jembatan sepanjang 734 kilometer ada di jalan provinsi dan kabupaten serta 21.000 jembatan sepanjang 404 kilometer ada di jalan nasional. Kebutuhan bajanya mencapai 45% dan beton 55%. Lebih lanjut Sukandar mengatakan, perseroan juga terus meningkatkan kapasitas produksinya dari saat ini sebesar 3,15 juta ton menjadi 7,15 juta ton. Peningkatan produksi dilakukan dengan membangun pabrik new hot strip mill (HSM) berkapasitas 1,5 juta ton, pembangunan galvanizing & annealing line untuk baja otomotif berkapasitas 500 ribu ton, dan pabrik profil dan section berkapasitas 500 ribu ton. “Apalagi Indonesia menempati posisi keempat negara dengan pertumbuhan kebutuhan baja tertinggi dan merupakan pasar dengan tingkat pertumbuhan paling cepat di kawasan ASEAN,” kata Sukandar. Hindari PHK Sementara itu, terkait kinerja perseroan pada semester I-2015, manajemen PTKS mengatakan, harga baja dunia yang terus menurun dan belum terlalu bergulirnya proyek-proyek infrastruktur membuat kinerja perusahaan tertekan. Akibat kondisi harga baja global yang anjlok, beberapa perusahaan baja dunia telah menyatakan menghentikan operasional perusahaannya masing-masing, seperti misalnya baru-baru ini, produsen baja terkemuka mengumumkan penutupan pabriknya di Australia dan Selandia Baru yang memperkerjakan 5.000 karyawannya. Demikian pula di Amerika Serikat, salah satu industri bajanya pada 17 Agustus lalu telah menutup pabrik blast furnace di Alabama, sehingga 1.100 karyawannya kehilangan pekerjaan. Sebagai satu-satunya pabrik baja terintegrasi di kawasan ASEAN, PTKS terus berupaya melewati situasi sulit ini tanpa melakukan PHK. “Industri baja nasional perlu diperkuat dan diselamatkan,” kata Direktur Keuangan PTKS Anggiasari Hindratmo.
Menurut Anggi, turunnya harga baja dunia turut mempengaruhi harga jual rata-rata baja PTKS, dimana secara tahunan hingga semester I-2015 turun berkisar 15%. Harga rata-rata jual hot rolled coil (HRC) turun 16% menjadi US$ 558/ton, cold rolled coil/CRC turun 15% menjadi US$ 672, wire rod turun 17%, bars dan sections masing-masing turun 9 dan 10%, serta pipes anjlok 18% menjadi US$ 956/ton. Sementara itu, lemahnya pasar baja domestik membuat penjualan baja perusahaan mengalami penurunan. Secara total, volume penjualan pada semester I-2015 turun 25,7% menjadi 837,11 ribu ton dibandingkan periode sama tahun lalu. Variasi antara penurunan harga baja dan konsumsi membuat pendapatan perusahaan turun 25% menjadi US$ 677 juta. Penurunan beban pokok sebesar 19% menjadi US$ 716 juta belum tertutupi karena turunnya nilai penjualan. Marjin kotor perusahaan turun dari tadinya masih positif 3,02% pada semester I-2014 menjadi minus 5,74%. Demikian pula dengan marjin bersih dari minus 3,7% menjadi 16%. Hal ini membuat rugi bersih perseroan tercatat sebesar US$ 135 juta, naik dibandingkan periode sama tahun lalu senilai US$ 86,8 juta. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan