KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Maraknya impor baja diyakini PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menyebabkan persaingan di tingkat lokal menjadi tidak sehat. Selain dianggap curang, karena menyiasati Nomor HS perdagangan, banyaknya barang impor dipercaya menekan harga baja. Silmy Karim, Direktur Utama KRAS mengatakan kebanyakan pelaku impor memasukkan baja ke Indonesia dengan Nomor HS boron sehingga nilai bea masuknya didapat lebih rendah ketimbang baja biasa. Oleh karena itu, KRAS sebagai produsen dan asosiasi baja The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) getol menyuarakan agar Permendag 22/2018 dapat direvisi. Karena dalam regulasi tersebut Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya yang tujuan sebenarnya untuk menurunkan waktu tunggu barang di pelabuhan (dwelling time), namun malah membuka celah masuknya impor baja dengan modus mengganti Harmonized System (HS) dari baja jenis carbon steelmen jadi jenis alloy steel. Beruntung, kata Silmy, revisi terhadap regulasi tersebut bakal dirampungkan. Meski demikian, ia mengakui masih perlu waktu agar peraturan yang baru efektif sebab ijin impor dari Permendag 22/2018 masih berlaku hingga Maret 2019 nanti. "Harapan kami setelah rampung (revisi) maka April tahun depan sudah dapat terasa bagi industri baja lokal," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Rabu (19/12). Berkompetisi dengan produk impor, menurut Silmy tidaklah mudah, sehingga regulasi pendukung sangat urgen bagi produsen baja nasional. KRAS sebenarnya sudah mencoba melakukan efisiensi dari segala lini agar lebih kompetitif. "Kami sudah menghemat hampir Rp 1 triliun di tahun ini. Cuma karena harga belum naik, penghematan dirasakan belum ada artinya," sebut Silmy. Sementara itu beredar kabar bahwa industri baja di China menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari perang dagang mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan relokasi industri ke Indonesia.
KRAS: Maraknya baja impor membuat persaingan tidak sehat
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Maraknya impor baja diyakini PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) menyebabkan persaingan di tingkat lokal menjadi tidak sehat. Selain dianggap curang, karena menyiasati Nomor HS perdagangan, banyaknya barang impor dipercaya menekan harga baja. Silmy Karim, Direktur Utama KRAS mengatakan kebanyakan pelaku impor memasukkan baja ke Indonesia dengan Nomor HS boron sehingga nilai bea masuknya didapat lebih rendah ketimbang baja biasa. Oleh karena itu, KRAS sebagai produsen dan asosiasi baja The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) getol menyuarakan agar Permendag 22/2018 dapat direvisi. Karena dalam regulasi tersebut Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan, dan Produk Turunannya yang tujuan sebenarnya untuk menurunkan waktu tunggu barang di pelabuhan (dwelling time), namun malah membuka celah masuknya impor baja dengan modus mengganti Harmonized System (HS) dari baja jenis carbon steelmen jadi jenis alloy steel. Beruntung, kata Silmy, revisi terhadap regulasi tersebut bakal dirampungkan. Meski demikian, ia mengakui masih perlu waktu agar peraturan yang baru efektif sebab ijin impor dari Permendag 22/2018 masih berlaku hingga Maret 2019 nanti. "Harapan kami setelah rampung (revisi) maka April tahun depan sudah dapat terasa bagi industri baja lokal," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Rabu (19/12). Berkompetisi dengan produk impor, menurut Silmy tidaklah mudah, sehingga regulasi pendukung sangat urgen bagi produsen baja nasional. KRAS sebenarnya sudah mencoba melakukan efisiensi dari segala lini agar lebih kompetitif. "Kami sudah menghemat hampir Rp 1 triliun di tahun ini. Cuma karena harga belum naik, penghematan dirasakan belum ada artinya," sebut Silmy. Sementara itu beredar kabar bahwa industri baja di China menjadi salah satu pihak yang terkena dampak dari perang dagang mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk melakukan relokasi industri ke Indonesia.