KRAS tertekan harga jual dan nilai tukar dollar AS



JAKARTA. Nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) yang terus menguat menekan rupiah. Ini tentu berimbas buruk pada emiten yang bergantung pada impor bahan baku, seperti PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Hampir 100% bijih besi dan besi spons yang digunakan untuk bahan baku KRAS berasal dari impor.

KRAS sendiri sudah berupaya mengurangi ketergantungan impor dengan mendirikan PT Meratus Jaya Iron & Steel yang memproduksi besi spons. Hanya saja, produksi PT Meratus Jaya Iron & Steel belum mengurangi kebutuhan impor secara signifikan.

Analis AAA Sekuritas, Carrel Mulyana bilang, rupiah yang melemah menjadi sentimen negatif bagi KRAS. Ia mencontohkan, di kuartal III/2012 lalu, KRAS mencatatkan rugi selisih kurs Rp 197 miliar. Ini karena, pendapatan KRAS berbasis rupiah.


Nah, pada kuartal I-2013, KRAS mulai mengganti laporan keuangan dengan denominasi dollar AS. Hal ini membuat KRAS terlihat untung selisih kurs senilai US$ 1,3 juta.

Tetapi, kata Carrel, harga bahan baku juga naik. Sebagai perbandingan, kuartal I/2012 harga rata-rata pasir besi di pasar internasional sebesar US$ 126 per ton. Nah, di kuartal I/2013, harganya naik menjadi US$ 143 per ton.

Padahal, harga jual rata-rata alias average selling price (ASP) KRAS justru turun. Harga baja lembaran (hot rolled coil) turun dari US$ 738 menjadi US$ 716 di kuartal I/2013. Harga jual baja sempat naik pada Februari 2013. Tapi, kondisi itu tak berlanjut. Menurut Carrel, melemahnya harga baja KRAS karena melemahnya industri manufaktur China sebagai pengimpor produk milik KRAS. 

Ia menambahkan, pertumbuhan kinerja KRAS yang lambat juga disebabkan faktor internal. Salah satunya proyek revitalisasi dan utilisasi produksi pada direct reduction plant (DRP) dan slab steel slant (SSP) yang lambat. Meski DRP dan SSP kembali berproduksi di 2012, tapi utilisasinya belum normal. Utilisasi DRP baru 42% dan SSP 35%. Padahal, kondisi normal di 2011, utilisasi DRP dan SSP masing-masing 82% dan 56%.

Kepala Riset Trust Securities, Reza Priyambada menilai, prospek KRAS masih suram di tahun ini. Apalagi jika KRAS tidak menggenjot produksi. Sebab, beban produksi bisa menggerus laba KRAS. Dia berharap, KRAS mampu melakukan efisiensi dengan mengurangi impor dan mencari pasar baru. "Jika utilisasi normal tapi harga jual tidak rebound, KRAS tetap kesulitan bertumbuh," ujar dia.

Carrel memprediksi, kinerja KRAS belum akan normal. Tahun ini, pendapatan KRAS hanya bakal tumbuh 0,61% menjadi US$ 2,3 miliar. Namun, ia memperkirakan, KRAS bakal mencetak untung sebesar US$ 35 juta di tahun ini, dari sebelumnya merugi US$ 20 juta.

Sementara, analis Bahana Securities, Salman Fajari dalam risetnya, 1 Mei 2013, menilai KRAS belum bisa mengembalikan performa normalnya seperti 2011. Tapi, dia menduga, laba bersih KRAS tahun ini masih bisa tumbuh menjadi US$ 47,8 juta.

Salman merekomendasikan jual saham KRAS dengan target harga di Rp 400. Sedangkan, Carrel dan Reza menyarankan hold saham KRAS. Carrrel memberi target harga di Rp 600 dengan PER 27,8 kali. Reza menargetkan harga KRAS di Rp 630 dengan PER 29 kali. Kemarin, harga KRAS naik 1,79% ke Rp 570.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Avanty Nurdiana