Pemerintah telah menyampaikan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah target penerimaan perpajakan yang ditargetkan sebesar Rp 1.609,4 triliun. Angka ini lebih besar 9,28% dibandingkan target penerimaan perpajakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2017. Persoalannya, penerimaan perpajakan di tahun ini saja masih terseok-seok. Sampai akhir semester I, realisasi penerimaan baru 46,8% dari target.
Jika melihat tren di tahun-tahun lalu, realisasi penerimaan pajak di semester II tak pernah lebih tinggi daripada realisasi di semester I. Proyeksi penerimaan perpajakan di tahun ini pun hanya berkisar 85%. Jika merujuk ke target penerimaan pajak di tahun ini, yaitu Rp 1.472,7 triliun, maka proyeksi sebesar 85% setara dengan Rp 1.251,7 triliun. Artinya, jika target penerimaan perpajakan dipatok sebesar Rp 1.609,4 triliun dalam RAPBN 2018, maka pemerintah harus mengejar pertumbuhan riil penerimaan perpajakan sebesar 28,5%. Sungguh itu target yang tidak realistis untuk digapai. Menetapkan asumsi yang tidak realistis justru memberikan sinyal negatif bagi perkembangan perekonomian dan dunia usaha. Karena, penerimaan perpajakan berkontribusi sebesar 82% dari total penerimaan negara. Kondisi ini akan membuat kebijakan fiskal pemerintah tidak kredibel. Padahal, kredibilitas kebijakan fiskal, terutama perpajakan, penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan menumbuhkan kepercayaan dunia usaha. Menjaga kredibilitas kebijakan fiskal penting mengingat tantangan perekonomian di tahun 2018 yang berat. Tahun 2018 merupakan tahun politik. Selain penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara serentak di 171 daerah, hiruk pikuk pemanasan pemilihan presiden dan legislatif sudah mulai terjadi. Kendati, pemilihannya masih setahun lagi, partai politik dan bakal calon presiden serta wakil presiden sudah menyiapkan segala kepentingan dan nafsu politiknya untuk memenangkan pemilihan. Tantangan perekonomian global juga semakin berat. Dampak kebijakan tapering off yang dilakukan Amerika Serikat akan menimbulkan turbulensi bagi negeri-negeri
emerging market, seperti Indonesia. Ketidakpastian kebijakan perekonomian di Uni Eropa setelah Brexit, pelemahan permintaan global dan instabilitas politik di Timur Tengah dan kawasan Asia Timur juga bakal membawa dampak bagi perekonomian Indonesia di tahun 2018. Untuk menjaga agar turbulensi tidak membesar, skema kebijakan yang andal (good policy) jelas perlu. Di sini pentingnya sebuah kebijakan perpajakan yang kredibel. Kebijakan yang tidak sekadar kemampuan untuk mencapai target penerimaan pajak, tapi juga mampu menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi dan investasi. Alternatif kebijakan Supaya kebijakan perpajakannya menjadi kredibel, pemerintah perlu menghitung ulang target penerimaan perpajakan. Asumsinya tidak bisa berpatokan pada target penerimaan perpajakan dalam APBNP 2017. Tetapi harus dihitung dari data realisasi hingga semester I. Sesuai dengan rata-rata tren pertumbuhan penerimaan perpajakan dalam sepuluh tahun terakhir, menetapkan target pertumbuhan di kisaran 10% dari realisasi masih realistis. Jadi, kalau asumsi realisasi penerimaan perpajakan tahun ini hanya 85% dari target atau 1.251,7 triliun, maka target penerimaan perpajakan yang realistis untuk tahun depan adalah Rp 1.376,8 triliun. Masih ada celah bagi pemerintah untuk menggenjot penerimaan di atas angka target. Syaratnya, pemerintah harus mengintensifkan kinerja. Ada beberapa kebijakan yang perlu dituntaskan.
Pertama, perbaikan data dan sistem informasi perpajakan. Inilah kunci untuk intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan perpajakan. Dalam sistem
self assessment, keberadaan sistem informasi database perpajakan penting sebagai instrumen verifikasi. Salah satu contoh di sektor perkebunan sawit. Ketika salah satu rekomendasi dari kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap perbaikan tata kelola komoditas sawit yaitu integrasi data perkebunan sawit (numerik dan spasial) dengan data perpajakan dijalankan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendapatkan penambahan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) senilai Rp 250 miliar, hanya di tiga provinsi. Jika semua data terkait usaha perkebunan, industri dan tata niaga sawit diintegrasikan ke dalam data perpajakan, potensi tambahan penerimaan mencapai Rp 20 triliun per tahun.
Kedua, memanfaatkan kebijakan Automatic Exchange of Information (AEoI) yang dijalankan banyak negara di tahun 2018. Indonesia harus memanfaatkan peluang ini untuk meningkatkan penerimaan perpajakan. Banyak perusahaan yang beroperasi di Indonesia melakukan
tax evasion dan
tax avoidance dengan memanfaatkan celah perbedaan regulasi perpajakan antar negara dan ketertutupan informasi. Melalui AEoI, Indonesia bisa mengejar data dan informasi wajib pajak (WP) di luar negeri.
Ketiga, meningkatkan kepatuhan WP. Saat ini, Indonesia masih tertahan di kelompok negara yang memiliki tingkat kepatuhan WP yang rendah. Terutama, WP perorangan yang berstatus pengusaha. Akibatnya, banyak potensi penerimaan pajak yang hilang (revenue loss). Untuk mengurangi angka itu, DJP harus melakukan tindakan ekstra keras terhadap WP yang tidak patuh. Langkah DJP menggandeng KPK untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak bisa menjadi terobosan untuk mendorong kepatuhan WP.
Keempat, perbaikan dan harmonisasi regulasi. Untuk menjaga supaya landasan reformasi perpajakan bisa berjalan efektif, pemerintah harus mempercepat perbaikan dan harmonisasi regulasi. Karena selama ini hambatan untuk memperbaiki kredibilitas kebijakan perpajakan adalah terlalu banyaknya regulasi yang tumpang tindih sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Beberapa undang-undang perpajakan sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bahkan, langganan menjadi prioritas seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Tapi, proses penyelesaiannya berjalan lambat. Padahal, RUU KUP adalah pondasi untuk merevisi undang-undang pajak lain, seperti: RUU Pajak Penghasilan (PPh), RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), RUU PBB dan undang-undang perpajakan lainnya. Untuk itu, RUU KUP dan berbagai RUU perpajakan lainnya harus segera diselesaikan.
* Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN edisi 28 Agustus 2017. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Kredibilitas Fiskal 2018" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga