Kredit berwawasan lingkungan sulit berkembang, ini alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penyaluran kredit dengan prinsip berkelanjutan atau biasa disebut kredit hijau masih sulit ditingkatkan di dalam negeri. Hal ini tentu berkaitan sulitnya ketentuan yang perlu dipenuhi perusahaan agar bisa memperoleh kredit hijau, belum lagi tuntutan masyarakat saat ini juga masih belum kuat.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah memandang pada dasarnya perbankan memiliki karakteristik yang terus mengikuti perkembangan ekonomi dan pasar.

Tapi sementara itu, perekonomian di dalam negeri menurutnya masih mengutamakan pertumbuhan ekonomi ketimbang lingkungan. "Tidak bisa disamakan dengan negara-negara maju yang memang tidak bisa lagi menggenjot pertumbuhan," katanya kepada Kontan.co.id, Selasa (12/1).


Malah bila menilik sejarah, negara maju seperti Inggris pada masa revolusi industri pun tidak memikirkan lingkungan. Namun, setelah Inggris menjadi negara maju, kesejahteraan rakyat tercapai, kemudian isu lingkungan pun menjadi sorotan negara tersebut.

Sementara di Indonesia, pilihan untuk mendahulukan isu lingkungan sebenarnya sama saja mengerem pertumbuhan. "Kalau itu dilakukan, perlu dipertimbangkan. Karena kita masih membutuhkan pertumbuhan yang tinggi untuk mendorong lapangan kerja," imbuhnya.

Namun, bukan berarti isu lingkungan diabaikan. Tetapi menurutnya, berdasarkan urutan prioritasnya saat ini Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan, terutama untuk mengurangi kemiskinan. "Bahkan dengan pertumbuhan ekonomi 5% saja masih belum cukup untuk Indonesia," jelasnya.

Dari sisi teknisnya, Head of Investment PT Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe memandang, yang menjadi pertimbangan adalah tingkat selisih bunga kredit hijau yang mungkin tidak jauh berbeda. Khususnya untuk kredit korporasi besar.

"Kalau selisih antara kredit hijau dan kredit biasa itu hanya 1%-2%. Jelas tidak ada yang tertarik untuk ambil," katanya Kiswoyo.

Baca Juga: Tekan kerusakan lingkungan, BI dorong green financing

Pun, sebaliknya bagi perbankan, kalau peminatnya atau potensi debiturnya terbatas tentunya bank tidak mau repot untuk injak gas di area tersebut.

Kecuali, kelak kredit hijau akan diberikan prioritas atau perlakuan khusus. Hal ini yang menurutnya bisa memberikan dorongan untuk menjadikan perusahaan ke ranah Go Green.

"Kalau selisih bunga kredit hijau lebih murah separuh dari bunga normal. Tentu semua perusahaan akan berlomba go green agar bisa memperoleh kredit yang murah," imbuhnya.

Sebagai informasi, prinsip keuangan berkelanjutan mulai didorong oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui penerbitan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan dan POJK Nomor 60 Tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan.

Otoritas meminta perbankan menerapkan prinsip keuangan berkelanjutan, yakni prinsip yang didasarkan pada pengembangan produk, kapasitas internal perbankan, organisasi, manajemen risiko tata kelola, dan standar prosedur operasional sesuai pelestarian masyarakat dan lingkungan.

Kelompok bank umum kegiatan usaha (BUKU) III dan IV wajib menerapkan keuangan berkelanjutan dalam kegiatan usaha pada awal tahun 2020, sedangkan bank BUKU I dan II diwajibkan menerapkan pada tahun depan.

Lalu, bank perkreditan rakyat (BPR) kegiatan usaha 3, termasuk bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) harus mengimplementasikan keuangan berkelanjutan pada 2022, sedangkan BPR kegiatan usaha 1 dan 2 pada 2024.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto