JAKARTA. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) per April 2017 berada di level 6,98%. Rasio ini meningkat jika dibandingkan dengan akhir tahun 2016 yang berada di level 5,98%. Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Djoko Suyanto menyebut sampai dengan semester I-2017 pun masih berada di level 4% hingga 6%. Kendati demikian, Ia menilai rasio tersebut belum mengalami kenaikan signifikan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan NPL BPR di bulan Januari 2017 sebesar 6,48%, rasio kredit bermasalah masih cenderung stabil. "Kenaikan NPL kalau kita lihat data naiknya tidak signifikan, antara 4% sampai 6%. Itu kita lacak dari data 5 tahun sudah seperti itu," kata Djoko di Jakarta, Senin (10/7). Lebih lanjut, Djoko menyatakan kebanyakan NPL BPR tersebut disumbang oleh segmen kredit modal kerja (KMK), dengan porsi mencapai 50% dari total NPL. Menurutnya, lonjakan NPL di industri BPR disebabkan oleh menurunnya kemampuan membayar oleh nasabah. Atas hal itu, Djoko menambahkan, industri BPR dinilai harus dapat meningkat upaya pencegahan kredit-kredit bermasalah. "Harus kita tingkatkan pencegahan, monitoring terhadap kredit supaya NPL di bawah koridor 5%," imbuhnya. Lanjut Djoko, salah satu yang telah dilakukan BPR untuk menekan laju NPL yakni melalui restrukturisasi kredit dan beberapa variabel pencegahan lain yakni melalui restrukturisasi kredit dan beberapa variabel pencegahan lain berupa pemutusan kredit. Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad menilai masih tingginya NPL BPR merupakan cerminan dari industri perbankan secara umum. "Perbankan secara umum (akhir) tahun lalu mengalami tekanan NPL signifikan. Tapi kecenderungannya tidak semakin meningkat atau stabil," kata Muliaman. Adapun, OJK menyebut pihaknya akan tetap memberikan perhatian berupa pengawasan untuk menangani sisa-sisa NPL agar tidak mengganggu ekspansi kredit perbankan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kredit macet BPR sudah di atas level 6%
JAKARTA. Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) per April 2017 berada di level 6,98%. Rasio ini meningkat jika dibandingkan dengan akhir tahun 2016 yang berada di level 5,98%. Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Djoko Suyanto menyebut sampai dengan semester I-2017 pun masih berada di level 4% hingga 6%. Kendati demikian, Ia menilai rasio tersebut belum mengalami kenaikan signifikan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan NPL BPR di bulan Januari 2017 sebesar 6,48%, rasio kredit bermasalah masih cenderung stabil. "Kenaikan NPL kalau kita lihat data naiknya tidak signifikan, antara 4% sampai 6%. Itu kita lacak dari data 5 tahun sudah seperti itu," kata Djoko di Jakarta, Senin (10/7). Lebih lanjut, Djoko menyatakan kebanyakan NPL BPR tersebut disumbang oleh segmen kredit modal kerja (KMK), dengan porsi mencapai 50% dari total NPL. Menurutnya, lonjakan NPL di industri BPR disebabkan oleh menurunnya kemampuan membayar oleh nasabah. Atas hal itu, Djoko menambahkan, industri BPR dinilai harus dapat meningkat upaya pencegahan kredit-kredit bermasalah. "Harus kita tingkatkan pencegahan, monitoring terhadap kredit supaya NPL di bawah koridor 5%," imbuhnya. Lanjut Djoko, salah satu yang telah dilakukan BPR untuk menekan laju NPL yakni melalui restrukturisasi kredit dan beberapa variabel pencegahan lain yakni melalui restrukturisasi kredit dan beberapa variabel pencegahan lain berupa pemutusan kredit. Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad menilai masih tingginya NPL BPR merupakan cerminan dari industri perbankan secara umum. "Perbankan secara umum (akhir) tahun lalu mengalami tekanan NPL signifikan. Tapi kecenderungannya tidak semakin meningkat atau stabil," kata Muliaman. Adapun, OJK menyebut pihaknya akan tetap memberikan perhatian berupa pengawasan untuk menangani sisa-sisa NPL agar tidak mengganggu ekspansi kredit perbankan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News