Kredit macet multifinance meningkat



JAKARTA. Aturan uang muka memang memperbaiki bisnis pembiayaan, terutama dari sisi pembiayaan bermasalah atau non performing finance (NPF). Tapi per Januari 2015, NPF industri pembiayaan masih naik dibandingkan bulan sebelumnya. Biang keladinya adalah pembiayaan alat berat.

Besaran NPF industri multifinance per Januari 2015 tercatat sebesar 1,48%, naik ketimbang Desember 2014 yang mencapai 1,41%.

Kredit bermasalah meningkat terutama dari segmen pembiayaan alat berat. "NPF tertinggi sebesar 4,34%," kata Dumoly F Pardede, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pekan lalu.


Dumoly merinci, ada tiga multifinance yang memiliki NPF di kisaran 4,34%. Umumnya, perusahaan pembiayaan tersebut menyalurkan kredit bagi sektor pertambangan.

Sekadar informasi, sejak pemerintah menerbitkan peraturan yang membatasi ekspor bahan mineral tambang, industri pertambangan merupakan pihak yang terpukul.

Tetapi, Dumoly menekankan, besaran NPF tersebut masih termasuk normal karena belum mencapai batas 5%.

Efrinal Sinaga, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengatakan, merambat naiknya NPF pembiayaan alat berat umumnya karena regulasi minerba terkait dengan smelter sehingga bisnis pertambangan jatuh dan angsuran jadi bermasalah. Demikian juga perkebunan sawit yang harga dan permintaannya turun. "Karena new booking turun, persentase NPF jadi naik," kata Efrinal.

Perlambatan

Salah satu multifinance yang merasakan seretnya pembiayaan alat berat adalah PT Chandra Sakti Utama Leasing (CSUL). Menurut Suwandi Wiratno, Direktur Utama CSUL, pihaknya memproyeksikan pembiayaan perusahaan tahun 2014 akan mencapai Rp 1,8 triliun, besaran angka yang sama dengan perolehan tahun sebelumnya.

Awalnya, CSUL mematok target pembiayaan Rp 2 triliun tahun lalu. Jika proyeksi tersebut terbukti, berarti CSUL hanya berhasil membukukan 90% dari target.

Kondisi ini tak lepas dari situasi perlambatan penjualan alat berat yang disebabkan ketentuan pelarangan ekspor beberapa bahan mineral dan belum pulihnya harga komoditas. Memang mayoritas pembiayaan CSUL masih bergerak di penyaluran kredit alat berat.

Maka itu, di Tahun Kambing Kayu ini, perusahaan pun enggan memasang target ambisius. "Tahun ini sama targetnya, Rp 1,8 triliun juga," tutur Suwandi.

Perusahaan pembiayaan alat berat lain, Buana Finance pun harus mencatat pencapaian pembiayaan sekitar dari target di tahun lalu. Direktur Buana Finance Herman Lesmana mengatakan, pihaknya akan ekspansi ke pembiayaan konstruksi mulai kuartal pertama ini untuk mengejar pertumbuhan.

Dalam peraturan OJK Nomor 29/2014 mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan disebut bahwa maksimal angka NPF setelah dikurangi cadangan penghapusan piutang pembiayaan wajib paling tinggi sebesar 5% dari total pembiayaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan