Kredit Valas Seret, Bank Cari Instrumen Lain



JAKARTA. Membesarnya likuiditas valuta asing (valas) di perbankan menuntut bank harus jeli dan pintar menempatkannya, agar bank tetap mendapat untung. Maklum, saat ini penyaluran dan penyerapan kredit valas masih seret.

Akibat krisis keuangan global, transaksi jual beli barang oleh perusahaan menciut. Ini membuat kebutuhan pembiayaan dalam valas juga turun. Selain itu, banyak perusahaan menunda mengambil kredit lantaran bunga pinjaman valas masih tinggi. "Bank juga belum berani kasih kredit valas banyak karena risikonya juga masih besar," ujar Bien Soebiantoro, Direktur Tresuri dan Internasional Bank BNI, Senin (8/6).

Sampai saat ini, kata Bien, likuiditas valas BNI mencapai US$ 800 juta. Bank BNI menyalurkan sebagian dana valasnya untuk transaksi jangka pendek seperti trade financing baik yang menggunakan Letter of Credit (L/C) maupun tidak. "Selain itu, kami juga menempatkan valas dalam surat berharga," ujar Bien.


Direktur Utama Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengatakan, agar likuiditas valas tetap bisa menghasilkan untung, bank harus menempatkan dananya di berbagai instrumen investasi. Pilihannya, masuk ke surat utang atau ke pasar uang antarbank. "Dengan begitu kegiatan operasional utama bank tetap berjalan," imbuh Parwati.

Sampai Mei 2009, dana pihak ketiga (DPK) valas OCBC NISP mencapai Rp 5,3 triliun.Dari jumlah tersebut, "Hanya Rp 3,2 triliun yang masuk ke kredit. Sisanya pada instrumen lainnya," ujar Parwati.

Bank Mega juga mengalokasikan sebagian likuiditas valasnya ke instrumen investasi. "Tak bisa semuanya dikasih ke kredit," ujar Direktur Konsumer dan Ritel Bank Mega Kostaman Thayib.

Hingga akhir Mei 2009, DPK valas di Bank Mega Rp 6 triliun. Hanya 60% dari jumlah itu yang disulurkan lewat kredit . "Sisanya ke instrumen berharga dan interbank," ujar dia.

Salah satu pertimbangan bank menempatkan valas, kata Bien, adalah keamanan dan pertimbangan waktu. "Saat butuh, dana itu likuid," ujar dia.

Sependapat, Wakil Direktur Bank Central Asia Jahja Setiatmadja menambahkan, BCA tak terlalu agresif dalam menyalurkan kredit valas.Pada kuartal pertama 2009 total DPK valas di BCA mencapai US$ 1,9 miliar.

Adapun rasio kredit terhadap simpanan alias loan to deposit ratio (LDR) valas BCA berkisar 52,6%. "Sengaja tidak besar untuk meminimalkan risiko," ujar dia. BCA ,menempatkan valas yang tersisa di obligasi pemerintah dalam mata uang dolar AS.

Jahja bilang, bank masih khawatir jika jor-joran menyalurkan kredit valasnya. Selain permintaan kredit valas masih seret, bank juga harus menjaga risiko kredit valas.

Makanya, instrumen jangka pendek dan aman menjadi pilihan. "Lebih baik untung kecil, risiko kecil," imbuh Kostaman. Jika sewaktu-waktu debitur membutuhkan kredit valas, bank bisa dengan cepat mencairkannya. "Ini jalan teraman dan mudah yang bisa menjadi pilihan perbankan," imbuh Kostaman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie