Krisis Turki dan kewaspadaan kita



Akhir pekan lalu media ramai memberitakan krisis Turki. Hingga 9 Agustus, mata uang Turki sudah terkoreksi 42,6% atau dalam 10 hari terkoreksi 13%, yang terdalam sejak negara itu mengalami krisis perbankan di tahun 2001. Krisis Turki mengikuti negara berkembang lain yang terlebih dahulu jatuh dalam kubangan krisis, seperti Argentina dan Venezuela.

Pertanyaan terbesarnya adalah apakah krisis-krisis tersebut akan menular ke negara berkembang lainnya? Tahun 2018 memang tahun yang lebih volatil dibandingkan 2017. Patut dicatat, dalam lima tahun terakhir Coefficient Variation volatilitas kurs meningkat dan mencapai 0,10 atau lebih tinggi dibandingkan 2003 2007 yang mencapai 0,05.

Penyebab utamanya: normalisasi suku bunga acuan di AS yang diikuti perang dagang AS dan China. Normalisasi suku bunga memicu aliran modal jangka pendek yang keluar dari banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagai contoh, per 10 Agustus, total aliran modal keluar dari pasar saham Indonesia sebesar Rp 48,7 triliun atau jika digabungkan dengan inflow di pasar obligasi (Rp 11,8 triliun ytd), maka total aliran modal yang keluar hingga Jumat lalu tercatat Rp 36,9 triliun. Bayangkan jika dibanding aliran modal yang masuk ke pasar saham dan obligasi Indonesia pada 2016 dan 2017 masing-masing Rp 107 triliun dan Rp 170,3 triliun.


Krisis Turki akan memberikan sentimen negatif bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Transmisinya melalui tekanan aliran modal keluar dan berlanjut ke potensi pelemahan rupiah dan yield obligasi (Surat Utang Negara/SUN). Kenaikan yield SUN akan mendorong yield obligasi korporasi sehingga akan menaikkan cost of borrowing di korporasi.

Perlu kewaspadaan tinggi bagi kita untuk bersiap menghadapi volatilitas yang bisa meningkat. Data menunjukkan negara yang nilai tukarnya tertekan adalah negara yang memiliki neraca transaksi berjalan (current account, CA) yang defisit. Dua negara yang sedang krisis saat ini, Turki dan Argentina, memiliki defisit CA sebesar 5,9% dan 5% terhadap PDB masing-masing. Defisit yang membesar tentu dipersepsikan oleh investor sebagai negara yang semakin membutuhkan dana asing untuk menutup kebutuhan valuta asingnya dan pada akhirnya semakin rentan akan volatilitas keluar masuk dana asing.

Indonesia bersama India dan Filipina juga mengalami defisit CAD. Defisit CA Indonesia pada kuartal II lalu melebar ke 3,04% (vs 2,21% di kuartal I). Penyebab utamanya adalah surplus neraca perdagangan barang yang jauh mengecil ke US$ 289 juta dari US$ 2,3 miliar di kuartal sebelumnya dan naiknya defisit neraca pendapatan primer. Ekspektasi kami adalah, defisit CA ini dapat berkurang di kuartal-kuartal berikutnya. Namun, tetap patut diwaspadai investor jangka pendek sering melihat angka-angka terakhir untuk melakukan positioning.

Sekarang, apa yang perlu dilakukan agar Indonesia bisa meredam tekanan dari volatilitas global? Turki bukan negara tujuan ekspor utama Indonesia sehingga pelemahan ekonomi mereka tak berpengaruh ke neraca perdagangan Indonesia. Namun, tekanan dapat datang melalui potensi pelemahan rupiah. Positifnya, Bank Indonesia telah melakukan kebijakan konsisten untuk meredam volatilitas rupiah.

Secara fundamental, di jangka sangat pendek langkah yang bisa dilakukan adalah menambah suplai valas ke dalam negeri, baik yang kembali ke BI dan menjadi cadangan devisa, maupun valas yang mengalir melalui bank dan memperkuat likuiditas valas di dalam negeri. Insentif untuk mengkonversi devisa hasil ekspor (DHE) ke rupiah mungkin perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan pasokan valas domestik dan membantu mengurangi volatilitas rupiah.

Saat ini, transaksi harian FX Indonesia rata-rata US$ 5 miliar per hari, lebih rendah dari negara tetangga US$ 10 miliar-US$ 15 miliar per hari. Ada dua insentif untuk eksportir yang bisa diusulkan: Pertama, memberikan kurs preferensial untuk DHE yang diparkir di bank swasta onshore. Kedua, insentif agar tidak ada biaya tambahan ketika eksportir perlu mengkonversi kembali untuk tujuan perdagangan.

Malaysia telah mengadopsi inisiatif ini, dimana 75% total DHE wajib dikonversi ke ringgit dan eksportir bisa mendapat kurs preferensi saat ditempatkan di bank-bank domestik. Dua usulan itu memang perlu didahului pencatatan rekening DHE secara khusus di perbankan. Tapi bila dapat diupayakan mungkin akan dapat menjadi insentif bagi eksportir.

Volatilitas di negara berkembang kali ini merupakan episode baru bagi ekonomi global. Kami melihat tekanan kali ini akan seperti sebuah lari maraton dimana fokus dan konsistensi diperlukan dalam jangka cukup panjang. Jadi, kewaspadaan akan jadi kata paling penting diingat bagi pelaku pasar keuangan saat ini.•

Andry Asmoro Ekonom Senior Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi