KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai belum optimal dalam menggali rekam jejak kandidat. Peneliti ICW Diky Anandya mengungkapkan, kekhawatirannya terkait 20 nama kandidat yang lolos tes
profile assessment, beberapa di antaranya dianggap bermasalah. "Ada sejumlah nama yang sebelumnya pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran kode etik, seperti Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan," kata Diky dalam keterangan tertulis, Rabu (11/9/2024).
Baca Juga: Ini Daftar 20 Calon Anggota Dewas KPK yang Lolos Profile Assessment Diky menilai bahwa Panitia Seleksi (Pansel) belum maksimal dalam mengevaluasi rekam jejak calon, padahal banyak informasi yang bisa dimanfaatkan untuk menilai integritas mereka, termasuk dari Dewan Pengawas KPK. Ia juga mengkritik penunjukan pejabat struktural KPK yang masih lolos seleksi, seperti Johanis Tanak, yang dinilai telah membawa persepsi negatif terhadap lembaga pemberantasan korupsi tersebut. "Padahal, di bawah kepemimpinannya, lembaga pemberantas korupsi itu kerap dipersepsikan negatif oleh masyarakat, serta kerap menimbulkan kegaduhan. Jika model kepemimpinannya begitu, lalu untuk apa tetap diloloskan? Bukankah hanya akan mengulangi hal yang sama jika kelak ia terpilih?" ujarnya. Didominasi kandidat dari aparat penegak hukum Diky juga menyoroti dominasi kandidat dari klaster penegak hukum dalam seleksi kali ini.
Baca Juga: Ini 40 Nama yang Lolos Tes Tulis Calon Pimpinan KPK 2024-2029 Dari 20 calon, 45 persen atau sekitar 9 orang berasal dari klaster ini, baik yang aktif maupun purnatugas. Diky mempertanyakan apakah Pansel memang menginginkan KPK diisi oleh aparat penegak hukum. Jika benar, ada sejumlah potensi pelanggaran dan kesesatan berpikir pada cara pandang tersebut. Pertama, ia menganggap Pansel melanggar Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengenai kesamaan di mata hukum. "Mestinya proses seleksi ini dapat mengikuti perintah UU KPK yang memberikan keleluasaan bagi setiap kalangan, sepanjang memenuhi syarat, untuk bisa mendapatkan kesempatan menjadi Komisioner atau Dewan Pengawas KPK," tuturnya. Kemudian yang kedua, dominasi aparat penegak hukum dalam hasil seleksi kali ini juga mengundang persepsi di tengah masyarakat terkait adanya dugaan intervensi pihak lain kepada Pansel.
Baca Juga: Seleksi Capim KPK Sarat Konflik Kepentingan Intervensi yang dimaksud dapat berasal dari pihak mana pun, seperti kalangan eksekutif atau pimpinan aparat penegak hukum. Ketiga, cara pandang tersebut menggambarkan bahwa Pansel pada dasarnya benar-benar tidak memahami seluk beluk kelembagaan KPK. Sebab, di dalam UU KPK tidak ditemukan satupun pasal yang mewajibkan kalangan aparat penegak hukum untuk mengisi struktur kepemimpinan KPK.
Selain itu, menurut Diky, cara pandang tersebut justru membuka ruang terjadinya konflik kepentingan dan loyalitas ganda. Ia mempertanyakan independensi komisioner yang berasal dari penegak hukum jika kemudian hari KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya. "Hal lain juga, jaminan apa yang bisa diberikan Pansel bahwa calon dari klaster penegak hukum hanya akan tunduk pada perintah UU di tengah maraknya fenomena jiwa korsa di lembaga asalnya?," ucap dia.
Baca Juga: 40 Nama Lolos Tes Tulis Seleksi Capim & Dewas KPK 2024, Ini Gaji Pimpinan KPK Editor: Yudho Winarto