KRL AC single operation bakal membuat subsidi BBM bengkak



JAKARTA. Mulai tanggal 2 Juli 2011 KRL Ekonomi AC Jabodetabek dengan tarif Rp 5.500 Depok-Bogor dan tarif Rp 4.500 untuk Serpong-Bekasi-Tangerang dan KRL AC Ekspres Jabodetabek tarif Rp11.000 sudah tidak beroperasi lagi. Pemberhentian seluruh operasi KRL tersebut akan digantikan dengan KRL AC Single operation Jabodetabek dengan tarif Rp 9.000 Depok-Bogor dan Rp 8.000 Serpong-Bekasi-Tangerang.

Terhadap rencana pemberlakuan single operation ini, anggota Komisi V, Sigit Sosiantomo, meminta pemerintah melalui Menteri Perhubungan agar melakukan peninjauan ulang pemberlakuan sistem itu. Soalnya, Sigit menilai dengan adanya KRL AC Single operation akan menyebabkan beralihnya mayoritas masyarakat kepada penggunaan kendaraan pribadi. Kemudian, sambungnya, akan berujung pada meningkatnya penggunaan BBM bersubsidi yang saat ini telah mencapai angka Rp 42 triliun.

Tentu saja bagi Sigit itu sangat bertentangan dengan semangat menjadikan KRL sebagai backbone transportasi pengurang kemacetan di Jakarta."Subsidi BBM yang telah mencapai angka 42 Triliun dan dikhawatirkan terus membengkak itu lebih baik agar dialihkan secara gradual untuk menambah subsidi (PSO) transportasi massal (KRL)," ujar Sigit dalam rilis yang diterima KONTAN, Kamis (23/6). Tak hanya itu, Sigit menilai banyak dampak negatif atas pemberlakuan kebijakan 2 Juli itu. Antara lain, akan berkurangnya pelayanan PT KAI untuk masyarakat kurang mampu. Tak hanya itu, ia pun telah menghitung kalau KRL Ekonomi AC dihapuskan, maka hampir 50% jadwal perjalanan KRL mengalami penurunan.


Di mana semula, ada 17 jadwal perjalanan KRL Ekonomi AC per/harinya dan kalau diberlakukannya KRL AC Single operation Jabodetabek maka hanya menjadi 9 perjalanan. Sigit menegaskan bahwa program ini jelas tidak pro-poor dan menyalahi amanat UUD pasal 34 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan umum yang layak. “Pemerintah harus memastikan kelayakannya, baik dari sisi jumlah perjalanan maupun kualitas keretanya. Pemerintah harus melakukan peninjauan bahkan pembatalan rencana pengoperasian single operation jika ternyata akan menyebabkan berkurangnya jumlah perjalanan KRL,” jelasnya. Politisi PKS itu pun mengingatkan juga bahwa dengan berkurangnya jumlah perjalanan KRL Ekonomi AC akan berdampak pada padatnya KRL ekonomi. "Secara kualitas akan semakin memprihatinkan," tambahnya. Alhasil, anggota Komisi yang membidangi transportasi itu memberikan solusi. Apabila alasan pengurangan jumlah jadwal perjalanan KRL karena kurangnya subsidi Pemerintah terhadap biaya Public Service Obligation (PSO) kepada PT KAI, maka Pemerintah harus menambah besaran subsidi PSO tersebut. “Pemerintah juga harus tinjau ulang kenaikan tarif KRL Ekonomi AC dari Rp5.500 menjadi Rp 9.000 dengan sistem single operation,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.