KSP Bentuk Gugus Tugas Pencegahan Penyalahgunaan Korporasi untuk Kejahatan Ekonomi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, Kantor Staf Presiden (KSP) Panutan Sulendrakusuma menekankan, pentingnya pembentukan gugus tugas pencegahan penyalahgunaan korporasi untuk kejahatan ekonomi.

Ia mengatakan, pembentukan gugus tugas tersebut, untuk mendorong percepatan Indonesia menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF).

Yakni, sebuah lembaga yang membuat standar internasional dalam bentuk peraturan setingkat undang-undang terkait pencucian uang, pendanaan terorisme, dan kejahatan ekonomi lainnya.


Panutan menegaskan, keanggotaan FATF adalah arahan Presiden Joko Widodo. Mengingat, Indonesia satu-satunya negara G-20 yang belum menjadi anggota FATF, dan dan saat ini hanya sebagai observer.

"Untuk menjadi anggota FATF, Indonesia harus memiliki integritas keuangan nasional yang kuat. Untuk itu butuh tim penilai risiko di tingkat sektoral, agar korporasi tidak disalahgunakan untuk kejahatan ekonomi," kata Panutan, dalam keterangan tertulis, Senin (13/6).

Panutan mengungkapkan, berdasarkan verifikasi lapangan terkait Penilaian Risiko di tingkat Nasional/ National Risk Assessment (NRA) 2021, masih dijumpai kendala-kendala untuk menuju keanggotaan FATF. Salah satunya, sebut dia, belum adanya Penilaian Risiko di tingkat Sektoral / Sectoral Risk Assessment (SRA) terkait Korporasi.

Baca Juga: Pemerintah Targetkan Kemiskinan Ekstrem Menjadi 0% pada 2024

Atas dasar itu, Kantor Staf Presiden menginisiasi pembentukan gugus tugas SRA korporasi bersama kementerian/lembaga terkait. "Semua K/L sepakat demi tercapainya integritas keuangan nasional yang kuat dan keanggotaan Indonesia di FATF," tuturnya.

Gugus Tugas percepatan penyusunan SRA korporasi ini dikomandoi secara trilateral oleh Kementerian Hukum dan HAM, PPATK dan OJK dan dikawal secara intensif oleh KSP.

Terdapat sejumlah manfaat apabila Indonesia telah menjadi anggota FATF. Di antaranya bisa lebih diterima dalam dunia bisnis internasional, kerjasama dalam memerangi mekanisme pencucian uang, serta pendanaan terorisme dan dapat ikut menentukan standar global dengan konteks negara berkembang.

Ia menerangkan, penilaian risiko di tingkat sektoral korporasi atau Sectoral Risk Assessment (SRA) korporasi, dapat dijadikan pedoman bagi regulator dalam melaksanakan pengawasan berbasis risiko/risk based supervision (RBS), dan pedoman bagi aparat penegak hukum menangani kejahatan ekonomi berbasis risiko/risk based investigation (RBI).

Hal ini juga bisa berlaku bagi industri keuangan bank dan non bank serta pihak pelapor lainnya dalam mendeteksi dini TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), TPPT (Tindak Pidana Pendanaan Terorisme), serta kejahatan ekonomi lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto