KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi petani mengkritisi, pemerintah seharusnya melakukan instrumen penerapan harga gabah dan beras yang disesuaikan dengan inflasi tahunan. Pasalnya, harga gabah dan beras masih bertahan sejak 2015 sehingga petani akan mengalami kerugian dan enggan menjual gabah saat harga masih ditekan rendah. Ketua Kontak Tani Nelayan Indonesia (KTNA) Winarno Tohir menyampaikan, peningkatan harga beras sejatinya dikarenakan komponen inflasi. Perbandingannya pada tahun 2015 harga gabah di Rp 3.700 per kilogram dan beras di Rp 7.300 per kilogram.
Selang tiga tahun kemudian, tahun 2018 harga gabah kini mencapai Rp 4.144 per kilogram dan harga beras ditekan melalui aturan Harga Eceran Tertinggi yakni Rp 9.450 per kilogram untuk beras medium. "Petani tidak minta harga naik, tapi penyesuaian harga sesuai inflasi, harga gabah di 2018 sebesar Rp 4.144 itu angkanya beda tapi nilainya sama karena inflasi," kata Winarno, Selasa (22/10). Adapun pada paparan kinerja ekonomi masa kepemimpinan presiden Joko Widodo selama empat tahun terakhir, inflasi pangan dalam periode tersebut cenderung di atas 3%, kecuali tahun 2017 sebesar 0,71% dan 2018 di 1,94%. Harga rata-rata beras juga berfluktuasi cukup besar. Data olahan BPS menunjukkan dalam empat tahun terakhir khusus bulan Oktober, harga beras paling mahal terjadi pada bulan Oktober tahun 2014 seharga Rp 11.522 per kg, dan paling murah di Oktober tahun 2016 seharga Rp 10.061 per kilogram. Bulan Oktober ini, BPS mencatat harga beras di Rp 11.415 per kg. Winarno melanjutkan, harga beras tersebut memang terus bergerak naik sehingga sebenarnya penerapan aturan HET tidak sepenuhnya diikuti pedagang karena masih berpegang pada mekanisme pasar untuk tentukan harga tersebut. Oleh karenanya, petani kini cenderung menahan gabah di gudang dan menunggu harga pembelian menjadi lebih baik. Winarno mematok petani akan lebih lega mengeluarkan gabah bila dihargai Rp 4.200 per kg untuk gabah basah, sedangkan HPP Gabah Kering Panen yang ditetapkan pemerintah melalui Inpres No. 5 tahun 2015 sebesar Rp 3.700 per kg. Perbedaan harga dalam selang tiga tahun ini Winarno nilai terlampau besar. Tapi pemerintah tidak merespon dengan memperhitungkan ulang harga pembelian gabah dan beras, namun malah membalas dengan impor saat harga beras naik dan seakan dijadikan indikasi adanya defisit beras.
"Sebenarnya kita surplus, 8,6 juta ton gabah kering, kalau dikonversi minimal mencapai 5,33 juta ton beras medium," katanya. Angka ini memang berbeda dengan surplus beras versi Badan Pusat Statistik yang perkirakan tahun ini bakal surplus 2,85 juta ton. Beda juga dengan versi Kementerian Pertanian di 13 juta ton. Namun tetap menunjukkan posisi berlebih sehingga baik tahun ini maupun tahun depan tidak membutuhkan impor. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto