KONTAN.CO.ID - JAKARTA - Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menyatakan bahwa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean-Australia di Melbourne telah menghasilkan dua dokumen penting. Menurutnya, dokumen pertama yang dihasilkan dari KTT tersebut adalah Deklarasi Melbourne atau Melbourne Declaration yang memuat arah kerja sama di bidang politik-keamanan, ekonomi, dan sosial budaya untuk masa depan. Selain itu, terdapat pula Asean-Australia Leaders Vision Statement yang berisi tentang visi para pemimpin dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan geopolitik, geostrategi, dan geoekonomi.
Baca Juga: Kerjasama Iklim dan Energi ASEAN-Australia Dalam menanggapi hal ini, pengamat Ekonomi-Politik, Dr. Ichsanuddin Noorsy, mengkritisi bahwa kedua dokumen tersebut tidaklah baru atau istimewa, bahkan dinilai tidak menguntungkan bagi Indonesia. Menurut Noorsy, dokumen-dokumen tersebut hanya melanjutkan forum Indonesia dengan ASEAN-Australia karena status KTT ASEAN-Australia sudah berada di bawah pengaruh Amerika Serikat (AS). Noorsy juga menyoroti bahwa Australia baru-baru ini mendapatkan persetujuan dari AS dan memiliki kapal selam nuklir yang mendapat kritik dari Prancis. Hal ini menurutnya menunjukkan bahwa KTT tersebut lebih mengikuti agenda AS. Salah satu agenda AS yang disebutkan Noorsy adalah menahan pengaruh China di kawasan ASEAN atau menahan dominasi dan tekanan Tiongkok terhadap ASEAN.
Baca Juga: Presiden Jokowi Bertolak ke Tanah Air Usai Hadiri KTT Khusus ASEAN-Australia Noorsy juga menjelaskan bahwa KTT ASEAN-Australia berperan dalam menahan dedolarisasi, di mana AS ingin tetap mempertahankan dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan utama. Menurut Noorsy, Indonesia cenderung lebih memihak kepada Barat daripada menyeimbangkan hubungannya dengan China dalam prinsip KTT ASEAN-Australia. Ia menyarankan bahwa jika Indonesia ingin mendapatkan manfaat dari kerja sama dengan ASEAN dan Australia, Indonesia sebaiknya terlibat dalam isu-isu global tanpa harus terlalu mengikuti arusnya. Beberapa isu global yang disebutkan Noorsy antara lain perubahan iklim ganda, demografi, pendidikan, kesehatan, energi terbarukan, serta transisi energi.
Baca Juga: Hadiri KTT ASEAN-Australia, Jokowi Dorong Penguatan Kerjasama Kendaraan Listrik Noorsy menegaskan bahwa respons kebijakan domestik terhadap isu-isu global tersebut belum efektif, efisien, dan proporsional. Contohnya adalah kebijakan PLN terkait pasokan listrik dari rumah tangga swasta yang menunjukkan ketidakmampuan dalam menghadapi situasi energi terbarukan. Dengan demikian, perlu adanya peninjauan kembali terhadap kebijakan domestik agar lebih sesuai dengan dinamika isu-isu global yang ada. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli