Kualitas Udara Jakarta Masih Buruk Meskipun PLTU Mati Sementara



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Ketua Majelis Kode Etik Ikatan Ahli Perencana Kota, Bernardus Djonosaputro, menyatakan bahwa polusi udara di Jakarta masih dalam status tidak sehat meskipun PLTU telah dimatikan sementara.

Ia menjelaskan bahwa saat ini kualitas udara di Ibu Kota Jakarta tetap buruk meskipun 4 unit PLTU Suralaya dengan kapasitas 1.600 MW telah dimatikan secara sukarela sejak 29 Agustus 2023.

"Sulit jika kita hanya menyalahkan PLTU. Kita tidak bisa lagi menganggap PLTU sebagai kambing hitam polusi udara di Jakarta, karena polutan yang terdeteksi di pusat kota Jakarta berasal dari kendaraan bermotor," ujarnya dalam keterangannya, Selasa (5/9/2023).


Baca Juga: Pertamina Ajak Pengendara Cek Uji Emisi Kendaraan Gratis di 14 SPBU

Menurutnya, banyak pihak telah menjelaskan bahwa berdasarkan data harian di Agustus 2023, tidak ada polutan yang bergerak dari PLTU menuju Jakarta. "Kita bisa melihat bersama di IQAir sebagai pemantau polusi udara dan arah angin."

Ia menekankan bahwa masalah utama polusi udara di Jakarta adalah transportasi, bukan PLTU. Kebijakan transportasi di Indonesia saat ini masih kuno. "Kebijakan tersebut kemudian mempengaruhi pola masyarakat Indonesia dalam menggunakan transportasi."

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa masyarakat belum menggunakan transportasi publik secara luas. "Padahal di negara maju, masyarakat lebih memilih menggunakan transportasi publik karena aman, murah, dan minim risiko."

Saat ini, menurutnya, masyarakat Indonesia, terutama di kota besar seperti Jakarta, lebih memilih kendaraan pribadi yang mengeluarkan emisi karbon. "Itu sumber polusinya. Jadi, kebijakan yang diambil bukan mematikan PLTU, tapi mengubah pola penggunaan transportasi."

Baca Juga: Masih Kecil, Kalimantan Timur Akan Genjot Pemakaian Energi Baru Terbarukan

Ia mencontohkan bahwa negara maju sudah menerapkan zonasi kendaraan listrik di beberapa kota besar. "Tidak seharusnya ada kendaraan bermesin bakar yang melintas di kota."

Namun, yang terjadi saat ini adalah pemerintah justru menambah jumlah kendaraan dengan alasan mempertahankan potensi pendapatan pajak kendaraan yang masih relatif tinggi. "Kebijakan di sektor transportasi perlu diambil dengan dasar pengurangan emisi karbon demi kesehatan masyarakat."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli