Kuartal I 2011, ekspor mebel anjlok 34,12%



JAKARTA. Kinerja ekspor furnitur Indonesia sepanjang Januari-Maret kemarin cukup memprihatinkan. Data Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), menunjukkan ekspor kuartal I-2011 hanya sebesar US$ 444 juta. Nilai ini turun hingga 34,12% dibandingkan periode sama tahun 2010 yang sebesar US$ 674 juta.Ambar Tjahyono, Ketua Asmindo, mengatakan penurunan ini terjadi seiring dengan penguatan rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Kurs rupiah terhadap dollar memang menguat, dari level Rp 9.000 per dollar menjadi sekitar US$ 8.500 saja. Imbasnya, "nilai ekspor furnitur pasti minus," tutur Ambar, di Jakarta, Kamis (26/5).Hatta Sinatra, Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), menambahkan penurunan ekspor ini juga terjadi akibat penurunan permintaan terhadap mebel Indonesia. Saat ini, ada tren para pembeli di luar negeri menginginkan mebel dengan harga murah tapi kualitasnya tetap tinggi.Di sisi lain, harga bahan baku furnitur dan bahan pendukung seperti kulit dan kain terus merangkak naik. Ini membuat biaya produksi yang mesti dikeluarkan para produsen ikut meningkat. Secara otomatis, para produsen furnitur Indonesia tidak mampu memenuhi tren permintaan para pembeli yang menginginkan furnitur murah. "Kalau mengikuti tren, kita bisa rugi besar," kata Hatta kepada KONTAN.Kondisi itu membuat para pembeli di luar negeri mengalihkan permintaannya kepada China. Negara Tirai Bambu itu memang mampu menghasilkan produk furnitur yang murah tapi dengan kualitas yang tinggi. Maklum saja, industri furnitur di sana sudah memiliki skala produksi yang efisien. Industri furnitur di sana juga mampu memproduksi dalam jumlah yang massal dalam waktu yang cepat.Para produsen furnitur China juga didukung oleh industri pendukung seperti kulit dan kain yang juga sudah kuat. Mereka bisa lebih efisien sekaligus lebih cepat dalam memproduksi furnitur. Imbasnya, produk-produk furnitur China terus membanjiri banyak negara termasuk Indonesia.Kondisi sebaliknya terjadi di industri furnitur Indonesia. Para produsen lokal harus mengimpor kain dan kulit sebagai bahan pendukung furnitur dari China. Mereka juga harus mengimpor itu dengan harga yang lumayan tinggi.

Maklum saja, harga kain dan kulit impor itu biasanya ditentukan spekulan di China. Para produsen juga masih dibebani biaya pengiriman yang lumayan tinggi. “Akibatnya, daya saing produk furnitur kita rendah dibanding China," ungkap Hatta.

Namun Asmindo yakin, jika nilai tukar rupiah berada dalam posisi stabil yakni dikisaran Rp 9.000 hingga R 10.000, pendapatan ekspor furnitur bisa tumbuh 25% dibandingkan tahun lalu yang sebesar US$ 2,8 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini