KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar keuangan dalam negeri menikmati arus masuk modal asing (
capital inflow) yang cukup deras sejak awal tahun ini. Pasca pemilihan umum, investor asing tampaknya optimistis dengan kondisi perekonomian Indonesia ke depan yang diproyeksi tetap stabil, ditunjukkan oleh beberapa lembaga pemeringkat asing yang memberi peringkat dan
outlook positif kepada Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui laporan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pekan lalu mencatat, investor non residen mencatatkan
net buy di pasar saham dan pasar SBN, masing-masing sebesar Rp 12,13 triliun dan Rp 73,87 triliun di kuartal I-2019, seiring dengan meredanya tekanan dari pasar keuangan global. Sementara itu, penghimpunan dana di pasar modal mencapai Rp 28,34 triliun. Kendati demikian, arus masuk modal asing diperkirakan tak akan sederas sebelumnya di kuartal II-2019. Pasalnya, ada sejumlah sentimen global maupun internal yang akan menahan modal masuk, bahkan mendorong modal keluar kembali.
Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail mengatakan, secara eksternal, sentimen negatif datang dari rilis data pertumbuhan Amerika Serikat (AS) di kuartal-I 2019 yang jauh lebih tinggi dari konsensus, Jumat (26/4) lalu. Pertumbuhan ekonomi AS berhasil tumbuh 3,2% secara tahunan (yoy), lebih tinggi dari perkiraan yang hanya 2,2% yoy. "Ini memicu pembalikan arah arus modal asing dari negara
emerging market yang sebenarnya juga sudah mulai kelihatan sejak awal April di mana terjadi net sell di pasar obligasi sekitar US$ 1 miliar, maupun di pasar saham," ujar Mikail, Minggu (28/4). Sementara, rilisnya peringkat dan
outlook positif dari lembaga pemeringkat internasional seperti R&I dan Japan Credit Rating Agency (JCR), menurut Mikail, tak begitu berdampak signifikan terhadap potensi
inflow. Ia menilai, biasanya pelaku pasar lebih merespon pernyataan peringkat dari lembaga seperti Standard & Poor's (S&P) dan Moody's Investors Services. Sentimen negatif luar negeri lainnya, kata Mikail, berasal dari prospek perekonomian Eropa yang tak begitu baik. Sejak awal tahun, data perdagangan Jerman sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Eropa cenderung lemah. Selain itu, Eropa berpotensi terlibat ketegangan dagang dengan AS terkait tarif ekspor mobil Eropa. "Sentimen ini semua membuat posisi dollar AS kembali menguat dan menjadi safe haven bagi investor. Ekonomi AS yang bagus di kuartal-I membuka kemungkinan kebijakan The Fed akan berubah lagi menjadi ketat. Modal pun mulai bergerak kembali ke AS," ujar Mikail. Secara domestik pun, masih ada potensi sentimen negatif yang menghambat arus modal masuk dan menekan kinerja nilai tukar rupiah di kuartal kedua ini. Di antaranya, faktor musiman yang mengerek kebutuhan terhadap dollar di dalam negeri, yang kemudian berdampak pada defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Mikail memandang, masih akan sulit menekan CAD hingga ke bawah 2,8% dari produk domestik bruto (PDB) di paruh pertama tahun ini. Meski pertumbuhan ekonomi kuartal-I diperkirakan masih sanggup menyentuh 5,2%, namun itu masih belum cukup mengurangi rasio CAD secara signifikan. "Karena inflasi kita rendah sehingga PDB nominal mungkin hanya sekitar 8%. Sementara, kalau mau menekan rasio CAD, salah satunya kita harus naikkan PDB," pungkasnya. Senada, ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai kebutuhan dollar AS secara historis selalu tinggi di kuartal kedua setiap tahunnya. Sebab, terdapat banyak jadwal pembayaran dividen oleh perusahaan di Indonesia, serta tren impor bahan bakar minyak (BBM) yang umumnya naik di bulan puasa dan menjelang Lebaran. "Ini harus diantisipasi supaya suplai dollar AS jangan terlalu menyusut. Kuartal kedua memang besar kemungkinan CAD akan melebar," kata Josua, Minggu (28/4). Josua memandang, masih ada dukungan dari sentimen positif kemungkinan perdamaian dagang AS-China ke depan, serta pertumbuhan ekonomi China yang tak seburuk perkiraan. Setidaknya, kedua sentimen tersebut dipandang masih cukup menopang pasar keuangan Indonesia dan mendorong
inflow modal asing.
"Ditambah Bank Indonesia masih menahan suku bunga acuan dan memberi kelonggaran melalui bauran kebijakannya," lanjutnya. Untuk jangka pendek, Josua dan Mikail sepakat memproyeksi nilai tukar rupiah masih berada dalam tekanan. Keduanya memprediksi pergerakan nilai tukar rupiah masih akan berada di kisaran Rp 14.100 - Rp 14.250 per dollar AS hingga bulan Mei. Akhir pekan lalu, nilai tukar rupiah di pasar
spot berada di level Rp 14.199 per dollar AS, melemah 0,09% dari posisi hari sebelumnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi