Kuasa Pertamina dalam Migas harus dikembalikan



JAKARTA. Tidak hanya sejumlah tokoh nasional dan organisasi keagamaan yang menggugat Undang Undang Nomor Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) ke Mahkamah Konstitusi(MK). Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) dan Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) juga melakukan langkah serupa.

Sidang uji materi ini sudah berlangsung tiga kali. Kemarin, sidang meminta keterangan pemohon dan saksi dari pemohon. FSPPB dan KSPMI sebagai pemohon menggugat beberapa pasal dalam UU Migas yang dianggap bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 dan pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Ambil contoh, tentang pemisahan pelaksana dan pengatur hulu dan hilir migas. Akibat dari pemisahan ini, kuasa negara di migas menjadi lemah.

Ugan Gandar, Presiden FSPPB bilang, pemisahan itu mendorong Pertamina mendirikan anak perusahaan baru. “Dengan anak usaha baru, maka berpotensi melahirkan pemilik baru sehingga peran Pertamina sebagai milik negara jadi lemah,” ujarnya, kemarin.


Faisal Yusra, Presiden KSPMI menambahkan, dengan dibatalkannya beberapa pasal di UU Migas, diharapkan peran Pertamina kembali kuat. Ia berharap, peran Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi(BP Migas) sebagai pengawas dan negosiator dengan perusahaan migas baik nasional maupun asing, akan digantikan oleh Pertamina.

Ekonom UGM Revrisond Baswir, saksi ahli dari pemohon juga meminta MK membatalkan beberapa pasal di UU Migas yang digugat pemohon. “Pertamina harus kembali diberikan kekuasaan di pengawasan dan negosiasi eksploitasi kawasan minyak dengan kontraktor asing,” ungkapnya.

Evita Legowo, Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menilai, pemisahan usaha hulu dan hilir untuk optimalisasi pengusahaan di sektor migas. Ia menganggap peran BP Migas sebagai pengawas dan pengendali kegiatan hulu sudah tepat. Posisi BP Migas justru memperkuat fungsi pengawasan negara. “BP Migas bisa fokus mengawasi tanpa harus berpikir cari untung,” ujar Evita.

Ia mencontohkan, dalam kilang minyak, posisi negara masih lebih kuat ketimbang asing. Sebab, dalam kontrak kerjasama asing cuma mendapatkan porsi 15%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dadan M. Ramdan