Kuatnya hipnotis beternak properti



Jakarta. Jika selama tahun 2005 hingga awal 2011, segala sesuatu yang berbau komoditas menjadi sector darling, perannya kini digantikan oleh sektor properti. Dalam dua tahun terakhir, minat masyarakat terhadap sektor ini kian menyala, baik untuk kebutuhan hunian maupun membiakkan dana investasinya.Animo masyarakat membeli properti didukung oleh tren suku bunga kredit yang rendah sejak awal tahun lalu. Alhasil, orang berlomba-lomba membeli aset properti dengan mengandalkan kredit pemilikan rumah (KPR) dari perbankan. Lihat saja, berdasarkan data Bank Indonesia (BI) per Mei 2013, total penyaluran KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) mencapai Rp 241,31 triliun atau melesat 16,5% dibandingkan Mei 2012.Selain kemudahan menggaet kredit berbunga murah, minat orang membeli properti makin besar seiring laju harga properti dalam dua tahun terakhir ini. Alhasil, para investor pun melihat aset properti menjadi salah satu wadah investasi yang menggiurkan untuk membiakkan duit.Bank Dunia mencatat, harga jual apartemen di Jakarta hingga akhir 2012 sudah naik 43% dibandingkan setahun sebelumnya. Di saat bersamaan, pertumbuhan kredit KPA juga melejit 84%. Begitu pula kenaikan harga jual perkantoran yang mencapai 43%. Sedangkan harga sewa kawasan industri tumbuh hingga 22%.Panangian Simanungkalit, pengamat properti sekaligus pemilik Panangian School of Property mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan harga properti melaju kencang. Pertama, kebutuhan atas hunian masih besar seiring pertambahan jumlah penduduk.Kedua, ada fenomena orang berduit menempatkan dana dalam wujud properti. Mereka percaya properti lebih aman untuk menyimpan dana nganggur dibandingkan instrumen investasi lain yang dianggap lebih rentan. “Karena memang ada permintaan dan penawaran maka saya masih menganggap pertumbuhan harga masih wajar,” katanya.Panangian pun menampik tudingan kalau pertumbuhan harga yang tinggi lantas mengantarkan pada kesimpulan bahwa properti di Tanah Air sudah overheating. Sebab, pertumbuhan harga properti sebenarnya tidak merata di berbagai daerah. Pertumbuhan harga paling agresif tentu di Jakarta.Direktur Century 21 Pertiwi Ali Hanafi a menambahkan, pertumbuhan harga properti di beberapa tempat malah ada yang sampai 100%. Ini terutama terjadi di daerah prestisius seperti di Menteng, Jakarta Pusat, Kelapa Gading, Jakarta Utara dan Pondok Indah, Jakarta Selatan.Ali bilang ada dua faktor yang menyebabkan harga properti tersebut bisa terbang tinggi. Pertama, permintaan yang tidak sebanding dengan penawaran. “Yang namanya Menteng itu ya cuma satu di Jakarta, tidak ada yang lain. Stok terbatas sementara permintaan besar ini yang menyebabkan harga naik,” ujar Ali.Kedua, lokasi yang strategis. Para investor properti tentu sudah sangat paham jika lokasi menjadi alasan penting ketika mau membeli properti. Beberapa daerah yang memiliki pertumbuhan harga fantastis tersebut merepresentasikan tempat yang memiliki lokasi strategis.Baik Ali maupun Panangian sama-sama menyayangkan pertumbuhan harga yang tak merata tersebut. Kondisi ini terjadi karena pembangunan infrastruktur yang tak merata. Maklum, infrastruktur adalah salah pemicu larisnya properti di suatu daerah. “Ini tugas pemerintah kalau mau membuat pasar properti tersebar rata pertumbuhannya,” ujar Panangian.Direktur Ciputra Development Tulus Santoso juga menilai kondisi infrastruktur sebagai daya tarik bisnis properti. Pengalaman Ciputra, ketika akan membeli sebuah lahan yang kabarnya bakal dibangun jalan tol maka harga pembebasan tanah menjadi lebih mahal. Kenaikan harga tak berhenti hingga jalan tol dibangun, dan berlanjut hingga pengembang merealisasikan pembangunan hunian.Nah, dalam menentukan harga jual hunian, harga tanah adalah komponen utama. Ketika pengembang mulai membangun dan menetapkan harga, masyarakat sekitar ikut menyesuaikan harga jual tanah mereka. “Kalau memang permintaan dan penawaran di daerah tersebut lantas “hidup”, kenaikan harga masih akan berlanjut lagi,” kata Tulus.Pengaruh LTVDi sisi lain, langkah Bank Indonesia (BI) yang berencana menurunkan batas pemberian kredit atau loan to value (LTV) sektor properti oleh bank, bakal berdampak pada industri tersebut. Sebab, menurut Panangian dan Ali, mau tak mau orang yang akan membeli properti melalui KPR atau KPA harusmerogoh kocek lebih dalam untuk membayar uang muka.Toh, Ali masih yakin harga properti masih tumbuh double digit. Memang, pertumbuhan harganya tahun ini tidak mungkin sebesar 100% seperti dua tahun lalu, tapi pertumbuhan harga sekitar 30%-40% masih mungkin dicapai.Managing Director Ciputra Group Harun Hajadi belum bisa menakar dampak kebijakan LTV terhadap para perusahaan properti. Namun, jika berkaca dari penerapan kebijakan LTV tahun lalu, bisnis milik taipan Ciputra ini tak merasakan dampak apapun. Porsi antara pembelian dengan KPR dan tunai atau tunai bertahap masih 55:45.Meski begitu, Harun sudah memiliki beberapa strategi untuk mengantisipasi kebijakan LTV itu. Antara lain memperpanjang tenor untuk skema pembayaran tunai bertahap. Selama ini Ciputra menawarkan tenor untuk tunai bertahap maksimal 18 bulan. Mereka juga berencana menawarkan cicilanpembayaran uang muka.Tak hilang gairahNamun, apakah pemilik dan investor properti juga memiliki optimisme yang sama seperti para konsultan, broker, dan pengembang properti?Kurtubi, pengamat perminyakan yang “mengoleksi” tiga KPR, mengaku tak keberatan jika aturan LTV baru diterapkan. Toh, selama ini dia selalu menyetorkan uang muka di atas ketentuan yang berlaku yakni 30%-40% dari harga rumah.Kurtubi berani mengambil lebih dari satu kredit properti karena kemampuan finansial yang masih memadai. Selain itu, dia ingin berinvestasi untuk anak cucunya kelak. “Kalau bisa menyicil dan dana mencukupi, kenapa tidak sembari menabung begini?” ujar dia.Pria 52 tahun ini tercatat memiliki dua KPR untuk membiayai pembelian rumah di Pluit-Jakarta Utara dan Cibubur-Timur, serta satu KPA untuk membiayai pembelian apartemen di Tebet, Jakarta Selatan.Irma, peternak properti lain, malah masih percaya diri untuk menambah koleksi propertinya tahun ini. Alasan perempuan yang merupakan karyawan perusahaan swasta ini adalah prospek investasi properti masih menguntungkan.Irma mulai mengambil KPR sekitar tiga tahun lalu. Total ada empat rumah dengan luas masing-masing di atas 100 m² yang dibiayai dengan KPR dari bank yang berbeda.Hasil investasi Irma pun sudah tampak. Terbukti, untuk membayar total cicilan KPR sekitar Rp 30 juta saban bulan, dia bisa mengandalkan passive income dari usaha menyewakan keempat rumah tersebut.Gairah berinvestasi juga tak pudar di dada Johanna Dora. Meski saat ini sudah mengantongi dua KPR atas namanya dan atas nama suami, Johanna masih berhasrat membeli rumah lagi dengan memakai pembiayaan KPR. Kebetulan, salah satu KPR miliknya bakal lunas dua tahun lagi.Untuk membayar dua KPR, Johanna dan suami harus merogoh kocek Rp 4 juta per bulan. Oh, iya, di luar kredit properti dari perbankan, perempuan berusia 34 tahun ini masih harus menanggung cicilan pembelian tanah sebesar Rp 5 juta saban bulan. Dia mengambil kredit lain di luar perbankan untuk membeli tanah itu.Jadi, total cicilan bulanannya Rp 9 juta. Jika melongok dompet pasangan suami-isteri ini yang berpenghasilan total Rp 32 juta per bulan dan pertimbangan 30% rasio kredit, maka status kredit mereka ini masih sehat.Johanna dan suami pun sudah merancang investasi properti ditujukan untuk membiayai sekolah kedua anak mereka kelak. “Saya sadar inflasi biaya pendidikan tinggi dan menurut kami properti ini menjanjikan,” kata Johanna.Kisah beternak properti juga meluncur dari mulut Joe Hartanto. Namun sedikit berbeda dengan para investor lain, investor properti yang sekaligus penulis buku soal investasi properti ini tak hanya mengandalkan KPR. Joe juga memanfaatkan fasilitas pinjaman lain yakni kredit investasi, pinjaman rekening koran (PRK), kredit modal kerja dan lainnya. “Saya gabung semua fasilitas kredit untuk properti asal masuk dalam hitungan saya,” kata Joe.Perhitungan yang dimaksud Joe adalah properti tersebut harus bisa menghasilkan uang. Penghasilan tersebut untuk menutup cicilan utang ke bank. Dia mencontohkan, membeli rumah seharga Rp 1 miliar dengan cicilan Rp 10 juta selama 15 tahun. Oleh karena itu dia sangat cermat dalam menjatuhkan pilihan dan lokasi properti yang akan dibelinya.Sayangnya, Joe enggan buka-bukaan ihwal jumlah dan besaran kredit. Dia hanya bilang, saat ini memiliki pinjaman di lebih dari lima bank. Tiap bank bisa memberikan lebih dari satu fasilitas pinjaman.Meski sudah mapan berprofesi sebagai perencana keuangan di OneShildt Financial Planning, Risza Bambang, juga tak lepas dari hipnotis properti. Sejak terjuan ke bisnis properti tahun 2002, dia sukses mengembangkan bisnis town house dengan menyasar kaum ekspatriat. “Prospek pasar ini besar,” kata Risza.Nah, ternyata daya beli investor properti masih besar. Jadi, kebijakan LTV cuma akan menjadi terapi kejut sesaat?***Sumber : KONTAN MINGGUAN 43 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander