Kuliner pasar lama yang bikin terpesona



Sepakat, dong, kalau menyebut pasar sebagai salah satu pusat interaksi manusia. Tidak hanya ramai aktivitas jual-beli, biasanya pasar di Indonesia mampu menarik manusia lantaran berkelindan dengan budaya setempat. Contohnya, pasar lama yang ada di Kota tangerang. Pengunjung yang hadir di pasar lama bisa merasakan kultur Tionghoa Benteng yang kental. Jejak pecinan yang kuat di pasar tradisional yang merupakan cikal bakal Kota tangerang ini terlihat dari sejumlah bangunan bergaya Tionghoa keturunan, Museum Benteng Heritage, dan Klenteng Boen Tek Bio yang berdiri tahun 1684 silam. Nah, sebagai pelengkap yang sempurna, pasar yang terletak di persimpangan Jalan Bhakti dan Cilame ini adalah surga kuliner.

Di pasar lama banyak penjual makanan yang layak Anda jajal untuk memanjakan perut dan lidah, mulai dari daging babi asap, otak-otak ikan tengiri, es cincau, kue doko, opak bakar, hingga kuliner legendaris seperti Laksa Benteng, Asinan Lan Jin, serta Es Buntin. Untuk menikmati aneka makanan minuman itu, Anda cukup berjalan kaki sekitar lima menit dari Stasiun tangerang. Tanpa buang waktu berbasa-basi, ayo, kita mulai petualangan kuliner di pasar lama.

Laksa Benteng Untuk menikmati laksa khas tangerang yang satu ini, Anda mesti meluangkan waktu berkunjung ke pasar lama lebih pagi. Soalnya, Sitar, si penjual laksa, punya jam operasi yang singkat. Buka hanya dari jam 8 pagi sampai 12 siang. Khusus di akhir pekan, Laksa Benteng langsung ludes tak bersisa dalam hitungan dua jam. Bang Kumis, begitu Sitar biasa dipanggil, gampang dikenali. Gerobak Laksa Benteng miliknya selalu parkir di depan Klenteng Boen Tek Bio. 


Di atas gerobak berkelir merah itu terdapat bakul yang berisi laksa, piring, sendok, dan sepanci besar kuah sayur yang masih panas. Karena pelanggan jajanan yang satu ini lebih sering membeli untuk dibawa pulang, Sitar tidak menyediakan bangku, apalagi meja. Meski hanya makan ala koboi di bibir jalan pasar, nikmatnya menyeruput kuah laksa yang kental dijamin tak berkurang sedikitpun. Setelah Anda memesan, Sitar pun mulai beraksi. Pertama-tama, dia menarik sekumpulan mi putih.

Sejurus kemudian, dengan centong miliknya, laksa dia guyur dengan kuah kuning kemerahan. Tahap terakhir, sejumput rajangan daun kucai dan sambal ulek berwarna merah menyala ditambahkan di atas laksa. Bisa juga ditambahkan telur ayam rebus atau ayam panggang sebagai lauk. Tampilan laksa satu ini sekilas nyaris serupa dengan  sepupunya  di Bogor. Bedanya, laksa tangerang memakai mi berbahan tepung beras dan daun kucai sebagai pelengkap. Sedang kuahnya diimbuhi kacang hijau rebus. Alhasil, tekstur kuahnya lebih kental dan mi laksa juga lebih tebal. Benar saja, saat sesendok laksa masuk mulut, teksturnya yang tebal membuat mulut Anda lebih sibuk untuk mengu-nyah. 

Jangan khawatir, karena laksa home made ini sangat empuk, walau tidak kenyal. Sitar juga tidak pernah menyimpan laksa yang belum terjual untuk keesokan harinya. Penjual laksa yang sudah eksis selama 25 tahun ini menjamin laksa racikannya selalu baru. Tak heran, rasa dan aroma laksa juga segar di mulut. Kuah kental berwarna merah ini juga punya rasa yang unik dan mirip kuah gulai. Bedanya, kacang hijau matang yang bertaburan di sela kuah membuat tekstur menjadi lebih kental. Cocok dengan karakter gurih-manis yang kuat pada kuah. Biar rasanya lebih galak, aduk sambal merah ulek yang disempilkan di bibir piring. Dijamin, suasana pagi Anda di pasar lama terasa lebih hangat. Menurut Sitar, kunci kelezatan laksanya ada pada mi putih polos buatannya. 

Dibanding dengan membuat kuah, bagian ini paling sulit. Jika tidak mahir, laksa bisa terlalu lembek atau malah terlalu keras.  Takaran air dan cara mengaduknya jadi adonan harus pas,  terangnya. Usai mencicipi sepiring laksa polos, Anda cukup menebusnya dengan uang Rp 7.000. Bila ingin tambah telur, harganya jadi Rp 10.000 per porsi. Plus ayam panggang, banderol harganya Rp 20.000 pas. Asinan Lan Jin Kedai ini umurnya jauh lebih tua dari Laksa Benteng. Lan Jin, sang pemilik, sudah menjajakan asinan keliling pasar lama sejak 1979 silam. Tidak mengherankan, pelanggannya turun- temurun. Ketenaran Asinan Lan Jin terdengar hingga ke kota-kota di sekitar tangerang.

Kini, pengunjung Asinan Lan Jin tidak perlu repot mencari-cari gerobak yang dulu selalu didorong perempuan 62 tahun ini. Cukup datangi saja kedai yang ada di beranda rumahnya, yang posisinya tak jauh dari Klenteng Boen Tek Bio. Jika berencana untuk pelesiran kuliner di pasar lama, taruh Asinan Lan Jin pada bagian akhir perjalanan. Soalnya, kedai ini buka hingga jam enam sore. Selain itu, Anda tidak bisa menyantap di tempat karena Lan Jin tidak menyediakan peralatan makan. Anda bisa pilih dua bumbu: kacang atau cuka. 

Tapi, yang paling laku bumbu cuka. Ini jadi pembeda dengan asinan betawi,  katanya. Isi asinannya terdiri dari potongan tahu kuning, timun, tauge, wortel, sawi, lobak, sayur asin, dan kacang goreng. Anda juga dibekali dua plastik kecil berisi bumbu cuka dan sambal cair. Kalau ingin lebih ramai, ambil seplastik kerupuk kuning yang tergantung di gerobak. Sensasi segar langsung timbul ketika sesendok asinan mendarat di mulut. Bumbu cuka yang asam, manis, dan pedas meruapkan aroma terasi saat meluncur di mulut. Sayur mayur asinan buatan Lan Jin juga segar. Tak heran, aroma sayur yang wangi langsung memenuhi tenggorokan begitu dikunyah.

Teksturnya pun masih renyah, bukan seperti sayur yang sudah menginap lebih dari satu malam. Sensasinya bertambah asyik ketika gigi bertemu kacang goreng. Lan Jin bilang, keunggulan asinan miliknya memang ada pada sayur-mayur segar yang diperoleh langsung dari pasar. Lantaran sudah puluhan tahun berjualan asinan, ia pun punya pemasok sayur sendiri. Untuk merasakan kerenyahan dan kesegaran asinan khas Tionghoa Benteng ini, Anda cukup merogoh kocek Rp 15.000 per porsi. Kalau ingin tambah kerupuk, harganya Rp 9.000 satu plastik.

Laksa Benteng, Asinan Lan Jin pasar lama Jl. Ki Samaun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto