Kunci Sakidjan bangun Mi Kondang: Keuletan dan semangat untuk terus belajar (3)



Sakidjan mendirikan dan membesarkan Mi Kondang sendirian. Ia belajar belasan tahun hingga akhirnya Mi Kondang bisa mencetak ratusan juta rupiah saban bulan. Baginya, pendidikan formal bukan kunci utama menuju kesuksesan. Keuletan, ketekunan, dan semangat untuk terus belajar menjadi modal utama. Seperti namanya, Mi Kondang sudah kondang di telinga para pejabat negeri ini. Promosi dari satu pejabat ke pejabat lain tentang kelezatan Mi Kondang dimulai tahun 2002. Dua tahun berikutnya, Mi Kondang hadir di rumah Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor. “Saat itu setiap hari dipesan 500 porsi, bahkan pernah 2.000 porsi. Saya ambil mi dari Petukangan Utara, saya bawa ke Bogor,” kata Sakidjan. Saat ini kedai Mi Kondang di Petukangan Utara mampu menjual 200 porsi sehari. Adapun di akhir pekan 300 porsi habis dijual. Sakidjan melego satu mangkuk mi ayam Rp 8.000 dan mi ayam bakso Rp 11.000. “Sebulan saya bisa dapat omzet sekitar Rp 300 juta dari seluruh usaha saya ini,” katanya, Selain mengurus penjualan Mi Kondang, Sakidjan kerap hadir di acara usaha kecil dan menengah perajin mi yang digelar Bogasari. Sakidjan sudah jadi mitra produsen tepung terigu itu sejak 1997. Minimal sekali dalam sebulan Sakidjan pergi ke luar kota. Di acara Bogasari, Sakidjan bercerita soal asal-muasal usahanya. Ia pun senang berbagi kiat bisnis hingga resep Mi Kondang. Sakidjan tak pelit ilmu. “Saya tak takut dijiplak atau disaingi. Saya percaya saya pasti dikasih rezeki,” tuturnya. Sakidjan pun sering tak percaya bisa menjadi pembicara dalam seminar. Ia sadar, pengetahuan formalnya tak seberapa. Ia cuma punya bekal ilmu dari Sekolah Teknik (ST) di Wonogiri. Hanya dua tahun ia mengenyam pendidikan lantaran tak ada biaya. Meski, setiba di Jakarta, ia meneruskan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Setia Budi, Jakarta Selatan. Lagi-lagi, ia tak lulus karena terbentur soal biaya. Putus sekolah, Sakidjan muda ikut kawannya jadi kuli bangunan. Hingga ia mendorong gerobak mi ayam keliling. saat itulah dia bertemu dengan seorang gadis, yang kelak menjadi istrinya, pada tahun 1976. Kisah prihatin itu tak terulang pada keempat anak Sakidjan. Dia berhasil memotong rantai kemiskinan yang dulu melingkarinya. “Semua anak saya sarjana,” kata Sakidjan, bangga. Ia pun tak mau usaha yang sudah dia rintis jatuh ke tangan orang di luar keluarganya. Bagi Sakidjan, Mi Kondang adalah pelajaran berharga di hidupnya. Di proses itu, ia petik pembelajaran bahwa masuk ke suatu usaha harus ulet dan tekun. “Dan, harus mau belajar terus-menerus. Itu yang sangat saya rasakan,” ucapnya. Ia bercerita, ketika jadi pembicara di seminar kewirausahaan, kerap ia berjumpa dengan wirausaha mi. Di situ ia melihat kecenderungan para wirausaha ini tidak ulet . “Ulet itu berarti satu hal yang kita jalani harus jadi, benar-benar selesai,” kata Sakidjan. Belajar pada hakikatnya adalah proses untuk mencari tahu dan memecahkan kegelisahan. Bagi Sakidjan, dalam proses belajar, orang harus rajin bertanya. Ia tak mau peristiwa dulu, ketika ia mencari resep membuat bumbu mi, terulang lagi. Kala itu, tahun 1980-an, para pedagang mi tutup mulut rapat-rapat. Mereka enggan berbagi rahasia dapur lantaran persaingan mi saat itu sangat ketat. Sekarang, Sakidjan pun senang melihat beberapa pegawainya buka usaha jadi pedagang mi. Walau membiarkan resep mi bikinannya diketahui orang lain, usaha Sakidjan tak surut. Buktinya, pada tahun 2008 ia masuk 25 besar peserta Dji Sam Soe Award bidang kuliner. Setahun berikutnya, Mi Kondang menyabet juara I Expo Bogasari. (Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi