JAKARTA. Meskipun Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan alias BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,5%, tak serta merta memicu penurunan kupon obligasi korporasi. Demi memenangkan perebutan dana investor, emiten masih berpeluang menawarkan kupon relatif tinggi. Perlu diketahui, penghitungan kupon layak obligasi korporasi berdasarkan yield surat utang negara (SUN) bertenor sama, ditambah spread matrix dari peringkat utang dan tenor obligasi. Presiden Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), Ignatius Girendroheru mengatakan, dengan penurunan BI rate maka yield SUN juga cenderung turun. Selanjutnya, kupon layak obligasi korporasi otomatis ikut turun. "Tapi faktor obligasi korporasi f bukan hanya BI rate. Faktor fundamental emiten juga terkait," ujar Ignatius.
Bagi emiten dengan peringkat utang investment grade (minimum BBB), mudah menurunkan tingkat kupon di tengah penurunan BI rate. Sehingga ongkos penerbitan (cost of fund) surat utangnya bisa lebih rendah. Di sisi lain, Global Markets Financial Analyst Manager Bank Internasional Indonesia Anup Kumar mengatakan, emiten bisa juga tidak menurunkan tingkat kupon agar tetap menarik bagi investor. Langkah tersebut, kemungkinan dilakukan emiten dari sektor pembiayaan dan perbankan yang tengah bersaing memperebutkan dana investor. "Dua sektor itu yang dari tahun ke tahun selalu mendominasi penerbitan obligasi korporasi," ungkap Kumar. Persaingan kupon obligasi dari dua sektor perusahaan tersebut cukup ketat. Tentu saja, persaingan ini bakal menguntungkan emiten yang memiliki peringkat utang tinggi dan fundamental baik karena bisa menawarkan kupon lebih rendah. "Sedangkan pada perusahaan lainnya agar obligasi diserap investor, mereka bisa menawarkan kupon lebih tinggi 5 hingga 25 basis poin dari saingannya tersebut," ungkap Kumar. Tingkat kupon obligasi relatif tinggi juga masih terjadi akibat perebutan dana investor dengan pemerintah yang menerapkan strategi front loading surat utang negara (SUN). Amunisi stagnan Penurunan BI rate, memang berpotensi menguntungkan sejumlah emiten karena turunnya cost of fund penerbitan. Sayang, tidak semua emiten bisa memanfaatkan peluang tersebut. Maklum, pasar tidak menduga akan terjadi penurunan BI rate. Sedangkan persiapan penerbitan obligasi korporasi membutuhkan waktu sekitar satu semester. Wajar jika emiten penerbit obligasi pada semester pertama ini sudah merencanakan niat mereka sejak semester II-2014 lalu "Ternyata BI rate turun. Emiten yang ingin memanfaatkan itu sudah terlambat," kata Kumar. Sedangkan semester II-2015, BI rate diperkirakan bakal naik lagi mengikuti kebijakan normalisasi fed fund rate.
Ia memprediksikan, penerbitan obligasi korporasi tahun ini paling tinggi 5% di atas realisasi pada tahun lalu. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sepanjang tahun 2014, total penerbitan obligasi korporasi sebesar Rp 48,04 triliun. Jadi, Kumar memprediksikan, realisasi penerbitan obligasi korporasi tahun 2015 ini sekitar Rp 50 triliun. Ignatius juga menduga, penurunan BI rate tidak lantas membuat emiten agresif menerbitkan obligasi. Menurutnya, kebijakan tersebut menyebabkan obligasi korporasi menjadi lebih menarik dibandingkan dengan sumber pendanaan lain. "Penerbitan obligasi menjadi pilihan strategi pendanaan yang lebih diutamakan oleh korporasi ketimbang penawaran saham (go public atau rights issue), kredit bank atau private loan," tutur Ignatius. Kumar menambahkan, emiten akan membandingkan berapa cost of fund penerbitan obligasi dengan pinjaman bank. Sejumlah emiten enggan mengambil pinjaman bank karena terlalu banyak syarat yang harus dipenuhi. "Obligasi lebih mudah, tinggal ditawarkan ke investor dan tidak memakai agunan," ungkap Kumar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto