JAKARTA. Beban utang yang besar masih menggelayuti PT Bakrieland Development Tbk (ELTY). Salah satu cara ELTY mengurangi beban utang tersebut adalah dengan mendivestasikan aset berimbal hasil rendah. Direktur Utama ELTY, Ambono Januarianto, mengatakan, saat ini total utang ELTY mencapai Rp 5 triliun, dengan rata-rata bunga mencapai 15% per tahun. Dari jumlah itu, sebesar Rp 1,4 triliun merupakan utang dalam bentuk dollar AS. "Kalau yang dollar, bunganya sekitar 8%," ungkap dia kepada KONTAN, Selasa (22/1). Untuk tahun ini, utang jatuh tempo ELTY yang harus dibayar mencapai Rp 280 miliar. Utang jatuh tempo tersebut merupakan utang Obligasi I Bakrieland Development tahun 2008. Obligasi seri B itu bertenor lima tahun ini akan jatuh tempo pada 11 Maret 2013 dan memiliki tingkat bunga tetap sebesar 12,85%.
Direktur ELTY, Feb Sumandar menjelaskan, ELTY menyiapkan dana sebesar Rp 160 miliar guna melunasi pokok dan bunga obligasi jatuh tempo tersebut. Dalam keterangan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Jumat (25/1), dana tersebut berasal dari hasil divestasi unit jalan tol. Feb berharap, transaksi divestasi jalan tol itu bisa diselesaikan pada Februari mendatang. Utang ELTY yang juga tergolong besar adalah utang ke Credit Swiss senilai Rp 1,5 triliun yang jatuh tempo pada tahun 2015, tetapi mesti tetap dicicil mulai tahun 2013. Ambono pun tak menampik beban keuangan ELTY bisa menghambat kinerja. Nah, agar tidak terlalu membebani keuangan, Ambono mengungkapkan, ELTY akan kembali mendivestasikan aset-asetnya yang memiliki yield rendah. Dana hasil penjualan aset akan digunakan membayar utang dan melanjutkan ekspansi di proyek properti. Beberapa aset yang berpeluang dilepas, seperti bisnis penyediaan air bersih di PT Aetra Air Jakarta. Saat ini, ELTY masih memiliki 3,75%. Rencananya, saham ELTY di Aetra akan segera dijual. "Kami akan menjualnya supaya tidak menghambat proyek properti," kata dia. ELTY membeli saham Aetra pada tahun 2008. Namun, karena merasa balik modal bisnis ini terbilang lama, ELTY merasa harus melepas bisnis ini. "Kerap kali memang ada beberapa salah perhitungan yang tumpang tindih. Makanya sekarang kami fokus di satu sektor saja," imbuh Ambono. Belanja modal