KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan menambah barang kena cukai (BKC) agar penerimaan cukai tidak hanya bertumpu pada cukai rokok. Upaya ekstensifikasi BKC ini semakin mudah diimplementasikan karena adanya Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kepala Subdirektorat Potensi dan Kepatuhan Pengusaha Barang Kena Cukai Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai Aris Sudaminto mengatakan, melalui UU HPP, birokrasi pembahan kebijakan jadi lebih ringkas. Sebab, pemerintah nantinya hanya akan membahas dengan Komisi XI DPR RI. Apabila disetujui, barang kena cukai baru akan ditertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggara terkait. Sebab, saat ini, kata Aris, aturan yang berlaku selain persetujuan Komisi XI DPR RI, pemerintah juga harus membahas usulan tambahan BKC dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.
Baca Juga: Rencana kenaikan CHT terus mendapat penolakan dari pelaku industri Namun, Aris menegaskan, pemerintah bersama Komisi XI DPR RI pastinya akan mengajak pengusaha terkait untuk melakukan rapat dengan pendapat (RDP). Tujuannya untuk mendengar masukan dari para pengusaha, sekalikus mengetahui update kondisi sektornya dan dampak bila dibandrol cukai. “Maka dengan adanya hal ini akan jadi lebih mudah, lebih sederhana, cuma ke Komisi XI, lalu dituangkan dalam APBN tahun terkait,” kata Aris dalam acar Diskusi Publik: Wajah Baru Perpajakan Indonesia Pasca-UU HPP, Selasa (23/11). Aris menegaskan, paling dekat, pemerintah akan menerapkan cukai plastik. Sebab, kebijakan ini sempat tertunda pada tahun 2020-2021 karena pemerintah menilai industri plastik dalam negeri terdampak negatif akibat pandemi. Padahal, sebetulnya pemerintah sudah punya dasar hukum penerapan cukai plasyik sebagaimana Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Namun belum diterapkan karena aturan pelaksananya, yakni peraturan pemerintah (PP) cukai plastik masih dalam pembahasan. “BKC saat ini sangat-sangat terbatas. Dalam hal penerimaan negara, untuk menambah target penerimaan maka yang dinaikan lagi-lagi tarif CHT. Penerimaan cukai kalau didominasi satu (BKC) saja kalau ada masalah atau yang tidak terduga dengan industrinya maka akan goyah,” ujar Aris. Selain cukai plastik, selanjutnya pemerintah akan menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis. Hanya saja, Aris belum bisa memberi tahu kapan akan diterapkan. Yang jelas, Aris bilang, penambahan BKC baru di Indonesia sangat penting. Sebab, masih banyak konsumsi barang-barang yang perlu dikontrol agar tidak berdampak buruk bagi lingkungan hingga kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Terlebih, saat ini hanya terdapat tiga BKC antara lain cukai etil alkohol (EA), cukai minuman menggangdung etil alkohol (MMEA), dan cukai hasil tembahau (CHT) atau rokok. Sementara di negara lain seperti Singapura tedapat 5 BKC, bahkan Thailand mencapai sekitar 15 BKC.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita mengatakan, sebelum menambah BKC, pemerintah terlebih dulu musti membenahi pengawasan. Sepemantauannya, dengan tiga BKC saja penyelundupan rokok hingga minuman keras ilegal masih sering terjadi. Bahkan, pita cukai juga kerap dipalsukan. Dus, ia menilai bahwa harus ada keseimbangan antara tujuan pemerintah untuk mengenakan cukai sebagai tambahan penerimaan negara dengan pengawasan. “Tanpa diawasi pemerintah bisa lupa karena kalau ga diawasin banyak antek-antek liar. Nah ini pesen dalam penyusuan PP dan regulasi harus terbuka. Sampai Peraturan Menteri Keuangan (PMK)-nya tolong dilibatkan stakeholder jangan dilewatkan,” ujarnya dalam acara yang sama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat