KONTAN.CO.ID - Perubahan sejumlah asumsi makro dalam pembahasan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2018 turut mengubah postur penerimaan dan belanja negara yang sudah direncanakan sebelumnya pada tahun depan. Dua asumsi makro yang berubah dalam kesepakatan antara pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR adalah asumsi kurs rupiah dan suku bunga SPN tiga bulan. Jika sebelumnya pemerintah mengusulkan kurs rupiah dalam RAPBN 2018 sebesar Rp 13.500 per dollar AS, disepakati turun menjadi Rp 13.400 per dollar AS. Sementara asumsi suku bunga SPN 3 bulan disepakati turun dari usulan 5,3% menjadi 5,2%. Kesepakatan itu terjadi dalam rapat panitia kerja Banggar dengan pemerintah, Kamis (14/9). Selain itu rapat juga menyepakati pertumbuhan ekonomi 5,4% dan inflasi 3,5% pada tahun depan. Asumsi pertumbuhan, inflasi, harga minyak Indonesia, dan lifting minyak dan gas disepakati sesuai usulan pemerintah sebelumnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dengan berubahnya asumsi dasar makro itu maka pihaknya harus menghitung ulang pengaruhnya terhadap penerimaan yang ditargetkan sebelumnya. Sebab perubahan asumsi otomatis akan berimbas pada penambahan atau pengurangan di pos belanja. Pertama, perubahan asumsi nilai kurs rupiah yang sebelumnya di angka Rp 13.500 menjadi Rp 13.400 per dollar AS. "Kalau kurs jadi Rp 13.400 per dollar AS, tentu akan lebih kecil nilai rupiahnya. Karena tadi pengali Rp 13.500 sekarang jadi Rp 13.400," kata Suahasil di Gedung DPR RI, Kamis (14/9). Imbasnya adalah kewajiban negara yang harus dibayarkan dalam bentuk dolar semakin mengecil, sehingga akan mengurangi anggaran di pos belanja. "Kewajiban-kewajiban yang dalam dolar, misalkan kewajiban bayar utang akan lebih kecil," terang Suahasil. Sesuai analisis sensitivitas perubahan asumsi dasar makro di Nota Keuangan RAPBN 2018, setiap pelemahan kurs rupiah sebesar Rp 100 per dollar AS, belanja negara bertambah Rp 2,5 triliun-Rp 3,1 triliun. Sedangkan pos pendapatan negara bertambah Rp 3,8 triliun-Rp 5,1 triliun. Namun, dengan perubahan kurs rupiah menguat Rp 100 per dollar AS, maka perhitungan itu berlaku sebaliknya. Sedangkan untuk perubahan suku bunga SPN, setiap kenaikan bunga sebesar 1% menambah alokasi belanja negara sebesar Rp 1,4 triliun-Rp 2,4 triliun. Namun dengan kesepakatan di DPR yang berkurang 0,1%, maka beban belanja negara bakal berkurang Rp 140 miliar-Rp 240 miliar. Namun, Suahasil masih enggan menyampaikan perubahan di pos pendapatan dan belanja tersebut. "Kami akan hitung ulang dahulu," katanya. Hasil perhitungan ulang akan disampaikan pemerintah dalam rapat kerja selanjutnya. Ancaman suku bunga Atas perubahan asumsi itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengamati pergerakan rupiah hingga September ini stabil. Oleh karena itu, penetapan Rp 13.400 per dollar AS dipengaruhi oleh faktor global, yakni dari potensi kenaikan Fed Rate dan kenaikan dari harga komoditas global. Josua mengaku mendukung kurs rupiah yang lebih kuat. "Asumsi kurs Rp 13.400 per dollar AS untuk mendorong ekspor manufaktur sejalan dengan niat untuk memajukan industri," katanya. Josua juga sepakat penurunan bunga SPN. Alasannya, pemerintah harus memanfaatkan kenaikan rating surat utang Indonesia dari Standard and Poor's. Dengan masuknya Indonesia ke level investment grade, sudah seharusnya biaya-biaya utang berkurang dari periode sebelumnya.
Ekonom Institute for Development Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, kurs rupiah Rp 13.400 per dollar AS cukup menggambarkan kondisi setahun ke depan. Yaitu potensi kenaikan Fed rate, berhentinya stimulus moneter ECB, kemudian perubahan balance sheet Federal Reserve serta risiko geopolitik. Namun di sisi lain rupiah tahun depan berpotensi menguat akibat rally harga komoditas CPO dan batubara. "Tantangan menjaga kurs rupiah adalah penciptaan suasana pasar yang kondusif, jangan ada kegaduhan yang membuat investor asing keluar dari Indonesia. Pemerintah juga harus terus meningkatkan daya saing nasional," jelas Bhima. Namun Bhima khawatir penurunan suku bunga SPN. Penyebabnya suku bunga acuan tahun depan bisa melonjak akibat inflasi yang meningkat akibat cuaca ekstrem. "Ada ancaman perubahan cuaca ekstrem yang bisa mengganggu produksi pangan tahun depan. Harga pangan bisa melonjak, inflasi naik, suku bunga acuan BI pun harus naik. Jadi idealnya SPN tetap di 5,4%," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati