KONTAN.CO.ID - ISTANBUL. Krisis keuangan menghantui Turki. Mata uang Turki, lira terus merosot ke level terendah. Begitu pula harga obligasi jatuh karena kekhawatiran yang meningkat atas perselisihan diplomatik dengan Amerika Serikat (AS). Merosotnya lira makin menyulitkan Bank Sentral Turki untuk kembali menstabilkan mata uang ini. Mengutip
Bloomberg, Selasa (7/8), kurs lira melemah 0,5% ke level 5,35 per dollar AS. Sehari sebelumnya, kurs lira sempat merosot hingga 6,7%. Sepanjang tahun ini, nilai tukar lira sudah amblas 29% terhadap dollar AS.
Sementara
yield atau imbal hasil obligasi Turki tenor 10 tahun melambung di atas 20% ke level tertinggi sepanjang masa yakni sebesar 20,09%. "Ini akan tetap seperti ini, sampai Bank Sentral Turki berkomitmen tanpa syarat untuk menaikkan suku bunga sampai inflasi berubah. Pasar membutuhkan komitmen keras semacam itu," tulis Henrik Gullberg, ahli strategi di Nomura International Plc melalui email seperti dilansir
Bloomberg. Sebetulnya pembuat kebijakan Turki sudah mengubah aturan cadangan untuk meningkatkan likuiditas valuta asing bank. Namun tidak cukup untuk menopang lira. Bank Sentral Turki menurunkan jumlah maksimum pemberian pinjaman dalam mata uang asing sehingga akan ada tambahan cadangan valas yangbparkir di bank sentral. Langkah ini akan memberi mereka tambahan cadangan valas hingga US$ 2,2 miliar. "Ini adalah perubahan yang bodoh, sementara lira sudah jatuh bebas," kata Win Thin, ahli strategi Brown Brothers Harriman di New York. Rontoknya mata uang lira telah kemampuan perusahaan untuk membayar kembali pinjaman mata uang asing mereka, memicu inflasi serta memberikan tekanan pada bank sentral untuk terus menaikkan suku bunga. Bank Sentral Turki dijadwalkan melakukan pertemuan berikutnya untuk menentukan arah suku bunga pada 13 September mendatang.
Analis Commerzbank, Lutz Karpowitz mengatakan, perubahan mekanisme cadangan valas hanya akan melemahkan lira. "Keengganan untuk menaikkan suku adalah sinyal yang
dovish dan kemungkinan akan memicu lebih banyak kerugian bagi lira," katanya. Shamaila Khan, Director of Emerging Market Debt AllianceBernstein’s di New York mengatakan, masalah sebenarnya tidak ada tanda-tanda independensi bank sentral atau kebijakan fiskal ketat yang diperlukan untuk menstabilkan lira. "Pihak berwenang tidak menunjukkan tanda-tanda untuk kembali ke kebijakan yang lebih ortodoks," ujarnya. Menurut Khan, yang dibutuhan untuk menguatkan lira adalah independensi Bank Sentral Turki, kebijakan fiskal yang ketat, serta program Dana Moneter Internasional (IMF). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat